PARBOABOA, Jakarta – Ekonom dibuat bingung oleh langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam menerapkan kebijakan tarif resiprokal yang menghebohkan dunia. Pasalnya, Presiden AS ke-47 itu menghitungnya melulu berdasarkan seberapa besar negara asing menyumbang defisit bagi neraca perdagangannya. Ini konyol dan sama sekali tidak realistis, demikian menurut ekonom. Tapi itulah yang kini sedang terjadi.
Trump telah lama meyakini defisit perdagangan sebagai bukti Amerika sedang “dirugikan” oleh negara-negara lain. Perilaku yang dianggapnya tidak adil itulah yang membuat neraca perdagangan menjadi sangat timpang.
Cara mengatasinya menurut pemikiran sederhana sang kepala negara adalah dengan menghambat masuknya barang-barang dari luar lewat kebijakan tarif. Dengan demikian Amerika dapat memproduksi lebih banyak dari apa yang dikonsumsinya.
Jadi, tarif tinggi terhadap hampir 60 mitra dagang yang mulai diberlakukan pada Rabu (9 April), dihitung berdasarkan defisit perdagangan bilateral, yaitu selisih antara apa yang dijual Amerika ke masing-masing negara dan apa yang dibelinya.
Saat menyampaikan paparan di acara Sarasehan Ekonomi yang digagas Presiden Prabowo pada 8 April lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengakui sulit memahami dasar perhitungan kebijakan tarif Trump.
“Di sini ilmu ekonomi tidak berlaku. Tujuannya hanya bagaimana caranya menutup defisit [AS]. Dan itu tidak lagi menggunakan ilmu ekonomi. Pokoknya AS tidak ingin beli lebih banyak. Jadi konsepnya itu purely transactional. Tidak ada landasan ekonominya,” kata Sri Mulyani. Sambil bercanda ia menambahkan: ‘maaf ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, [Anda] tidak berguna ya.’
Sarasehan Ekonomi dihadiri seluruh pejabat pemerintah termasuk Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, sejumlah Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Perwakilan Kementerian/Lembaga, Perwakilan Ekonom, Perwakilan Serikat Buruh, Perwakilan Pelaku Usaha, hingga Perwakilan Analis Pasar Modal, dan media.
Jadi yang mengemuka di kebijakan tarif Trump adalah ilmu pragmatisme.
Beberapa ekonom mengatakan pendekatan ini keliru, mengingat defisit perdagangan bilateral terjadi karena banyak alasan selain tentu ada praktik yang tidak adil. Mengukur kualitas hubungan dagang dua negara dengan angka defisit perdagangan merupakan ukuran yang buruk dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Terlalu fokus pada ketidakseimbangan perdagangan antarnegara bisa sangat menyesatkan. Lagi pula AS belum tentu bisa memproduksi barang tertentu.
Swiss, misalnya. Negara tersebut terkena tarif tinggi, sebagian karena mengekspor banyak emas ke AS. Demikian juga dengan negara kecil Lesotho, pendapatan tahunannya rata-rata hanya sekitar US$3.500. Mereka memproduksi banyak celana jins untuk pasar Amerika.
Momentum Berbenah
Tidak seperti Cina yang memilih retaliasi, Indonesia memutuskan menempuh jalur diplomasi dan negosiasi. Presiden Prabowo telah menunjuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Luar Negeri Sugiono untuk berangkat ke AS melakukan negosiasi. Waktu negosiasi akan menyesuaikan jadwal yang diberikan Pemerintah AS.
Sri Mulyani yakin Indonesia mampu menghadapi turbulensi global ini karena kondisi fundamental ekonomi baik serta neraca perdagangan masih surplus. Apalagi, sebelumnya kita pernah mengalami gejolak ekonomi dan keuangan dan terbukti mampu mengatasinya. Misalnya saat krisis minyak pada 1980an, shock di tahun 1997-1998, lalu 2008. Pemerintah mengatasinya dengan melakukan reformasi dan deregulasi.
“Menghadapi keadaan ini kita harus hati-hati tanpa panik,” katanya.
Momentum ini juga dimanfaatkan pemerintah untuk melakukan langkah-langkah deregulasi, membenahi dan menyederhanakan birokrasi serta meringankan beban usaha.
Sejumlah langkah konkrit telah diambil pemerintah termasuk rencana penghapusan kuota impor terutama bagi komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Menurut Presiden Prabowo mekanisme kuota dapat menghambat kelancaran perdagangan.
Selain masalah kuota, presiden juga memberi perhatian serius terhadap praktik penyelundupan dan hambatan di sektor bea cukai.
Penetapan nilai pabean yang banyak dikeluhkan pihak AS juga segera disesuaikan rentang harganya agar lebih valid. Proses perizinan juga disederhanakan karena sudah berbasis IT dan data. Pengawasan barang-barang di pelabuhan akan lebih bertumpu pada penggunaan teknologi x-ray sehingga mengurangi intervensi petugas.
Saat ini ada 53 pelabuhan dan 7 bandara yang terkoneksi secara digital. Jadi proses keluar masuk barang lebih cepat dan pasti.
“Sebagai menteri ekonomi kita menghadapi kondisi ini di front line. Kita perlu melakukan inisiatif, reform, dan deregulasi,” imbuh Sri Mulyani dengan optimis.