PARBOABOA, Simalungun - Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian, sejumlah petani di berbagai daerah di Indonesia telah lama mengandalkan penggunaan pupuk kimia sintesis.
Temuan yang disajikan oleh Dataindonesia menunjukkan, konsumsi pupuk kimia sintesis pada semester pertama tahun 2023 sebesar 4,47 juta ton.
Pada tahun 2022 berada diangka 2,82 juta ton, dan dalam rentang waktu selama setahun terakhir sebesar 1,65 juta ton.
Data ini memperlihatkan ada ketergantungan di kalangan petani, bahwa pupuk kimia sintesis merupakan satu-satunya solusi cepat untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman.
Meski di sisi lain, kebergantungan yang berlebihan pada pupuk jenis ini dapat mengancam kesuburan tanah dan produktivitas pertanian jangka panjang, tetapi para petani tidak punya pilihan lain.
Sukirman (63), seorang petani jagung di Simalungun, Sumatra Utara (Sumut), misalnya.
Ditemui PARBOABOA Selasa (27/02/2024), ia mengungkapkan kekhwatirannya apabila tidak menggunakan pupuk kimia sintesis, buah jagung tidak akan maksimal.
Untuk mengindari itu, saat ini, di atas lahan seluas 11 rante yang ditanami jagung, Sukirman telah mengalokasikan 200 kilogram pupuk urea bersubsidi, 15 kilogram pupuk KCL, 15 kilogram pupuk phonska, dan 300 kilogram kapur dolomit.
“Kesemuanya itu untuk lahan jagung seluas 11 rante, belum termasuk penggunaan pestisida,” cerita Sukirman kepada PARBOABOA.
Lelaki yang mempunyai 4 orang cucu ini, berjibaku memenuhi masa pemupukan pada 15 hari dan 45 hari setelah jagung tumbuh.
Sementara itu dalam sekali musim panen, ia harus mengeluarkan duit Rp1.500.000 hanya untuk kebutuhan pupuk. Ia percaya betul, dosis pupuk akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman jagung di ladangnya.
“Kalau enggak pas dosisnya, tanaman akan mengeluarkan kuncup bunga dalam keadaan kerdil,” ujarnya.
Janes Sitompul (33), petani jagung asal Desa Sibuntuon, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, punya pengalaman yang sama.
Tak hanya untuk tanaman jagung, Janes menggunakan pupuk kimia untuk tanaman-tanaman lain miliknya, termasuk untuk pemupukan tanaman cabai merah.
Meski ia tetap menggunakan pupuk organik dari kotoran ayam yang dibeli seharga Rp 10.000 perkarung, tetapi penggunaan pupuk kimia jenis NPK 16 tetap diprioritaskan.
Janes tidak menampik, setiap tanaman miliknya seolah menjadi kecanduan terhadap pupuk kimia.
“Kalau hanya kompos pertumbuhan dan pembuahannya akan berkurang, termasuk rentan kena penyakit,” ujar dia kepada PARBOABOA.
Menurunkan Produktivitas Tanah
Penggunaan pupuk kimia sintesis yang berlebihan pada tanaman, dapat merusak konsep pertanian berkelanjutan. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Lembaga Penelitian Universitas Simalungun, Ummu Harmain.
Ummu menegaskan, penting bagi para petani untuk menjaga unsur hara tanaman dengan mengandalkan pupuk organik sebagai pengatur porositas dan penyeimbang struktur tanah.
Menurutnya, penggunaan pupuk kimia sintesis berlebihan dalam jangka waktu yang panjang, akan membuat tanah semakin mengeras dan unsur haranya akan semakin menipis.
"Dampak signifikan dari kimia sintetis ialah tingkat kesuburan tanah yang akan menurun," kata Ummu kepada PARBOABOA.
Dia tidak mengatakan pupuk kimia sebagai candu bagi tanaman, akan tetapi tidak menampik jika petani pada umumnya tidak dapat melepaskan kebiasaan untuk bergantung pada pupuk kimia sintetis.
Apa yang disampaikan Ummu Harmain sejalan dengan temuan Kurniatmanto dan tim dari Pusat Perencanaan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, yang telah lama memperingatkan tentang risiko degradasi tanah akibat penggunaan berlebihan pupuk kimia dan pestisida.
Risiko ini tidak hanya terbatas pada penurunan kualitas tanah tetapi juga mencakup ancaman terhadap keanekaragaman biologis, dengan hama tertentu menjadi lebih dominan akibat hilangnya predator alami mereka.
Semenjak tahun 2005, Kurniatmanto dkk melalui temuan itu, menekankan pentingnya menjaga tanah dari degradasi sebagai salah satu pilar utama dalam menjaga keberlanjutan produksi pertanian dan kehidupan masyarakat di masa depan.
"Lahan pertanian yang ada sekarang ini dan lahan abadi yang masih berupa angan-angan tidak lama manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat, apabila degradasi atau pengerusakan tanah terus berlanjut,” tulis Kurniatmanto dalam laporannya dikutip PARBOABOA.
Editor: Gregorius Agung