Dilema Proyek Geothermal, Antara Pembangunan dan Kehidupan

Sejumlah poster yang dibawa warga Poco Leok dalam aksi protes di Ruteng pada 3 Maret 2025. (Foto: Dok. Floresa)

PARBOABOA, Jakarta – Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang selama ini dikenal karena keindahan alam dan kekayaan budayanya, kini menjadi pusat perhatian karena konflik sosial dan ekologis yang menyelimuti proyek energi panas bumi (geothermal).

Alih-alih menjadi simbol kemajuan dan transisi energi hijau, proyek geothermal justru memunculkan luka yang dalam di tengah masyarakat.

Di balik ambisi pemerintah untuk mengejar target energi terbarukan, suara-suara kritis dari masyarakat, pemuka agama, dan aktivis lingkungan justru terpinggirkan.

Penolakan terhadap proyek geothermal di Flores terus menggema. Warga yang hidup berdampingan dengan alam selama berabad-abad merasa hak mereka dilanggar.

Didampingi biarawan dan biarawati Katolik, mereka menuntut agar seluruh proyek geothermal dihentikan.

Kekhawatiran mereka bukan tanpa dasar: proyek ini dinilai mengabaikan partisipasi warga dan menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan yang sudah rapuh.

Penelitian dan pemantauan selama satu tahun menemukan sejumlah kerusakan—dari menurunnya hasil pertanian, terganggunya sumber air, meningkatnya suhu udara, hingga gangguan pernapasan.

Rumah-rumah warga pun mengalami keretakan akibat pengeboran, menambah ketakutan akan bencana ekologis yang lebih besar.

Koordinator warga, Felix Baghi, menyebut bahwa kerusakan ini nyata dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Yang paling dirasakan adalah menurunnya hasil ekonomi, kerusakan rumah-rumah, perubahan suhu udara, dan gangguan pernapasan,” ujarnya pada Maret 2025.

Sayangnya, jeritan warga seolah tak dihiraukan oleh pengambil kebijakan. Padahal, seperti ditegaskan oleh aliansi warga, perjuangan mereka bukanlah bentuk penolakan terhadap kemajuan, tetapi ungkapan cinta terhadap tanah warisan leluhur yang mereka rawat selama ini.

Dari perjuangan itu lahirlah tiga tuntutan utama. Pertama, penghentian total proyek geothermal di Matalok dan di seluruh NTT karena dinilai mengancam harmoni sosial dan ekologi yang telah lama dijaga.

Kedua, investigasi independen yang menyeluruh atas dampak lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat, sebagai bentuk transparansi dan keadilan.

Ketiga, pelibatan penuh masyarakat dalam setiap keputusan—bukan sekadar konsultasi formal, tetapi keterlibatan bermakna.

Sebab, tidak ada yang lebih paham tentang tanah ini selain mereka yang menggantungkan hidup padanya.

Namun hingga pertengahan Mei 2025, pemerintah daerah belum memberi respons atas tuntutan warga.

Harapan kini bertumpu pada tekanan publik agar pemerintah berpihak pada rakyat, bukan hanya pada investor dan kementerian.

Penetapan Sepihak

Sementara, Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, mengkritik keras proses pembangunan yang dinilainya otoriter.

“Bayangkan saja, kebijakan keluar tanpa permisi ke rakyat NTT. Kemudian mereka datang membawa iming-iming dan menutup mata terhadap hak warga untuk menolak,” ucapnya.

Menurut data Kementerian ESDM, terdapat 28 titik potensial geothermal di NTT, mayoritas di Flores dan Lembata.

Namun penetapan wilayah sebagai “Pulau Panas Bumi” dilakukan sepihak melalui Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017, tanpa konsultasi publik, memperuncing ketegangan antara pusat dan daerah.

Kasus geothermal di Poco Leok, Manggarai, menjadi potret buruk proyek energi yang justru merusak tatanan sosial.

Sejak 1995, PT PLN beroperasi tanpa izin masuk ke kebun warga, bahkan terjadi pelecehan verbal terhadap perempuan.

Proyek ini bukan hanya menimbulkan kerugian material, tetapi juga memecah komunitas, termasuk dalam ranah keagamaan.

Ironisnya, meski PLTP Ulumbu telah lama beroperasi, masyarakat Poco Leok baru menikmati listrik penuh pada akhir 2024, sementara sumber air mereka telah lebih dulu dikuras untuk kepentingan proyek.

Kerugian lain muncul di sektor pertanian. Komoditas seperti kopi, cengkeh, dan vanili mengalami penurunan drastis.

“Geothermal rakus air dan lahan. Sementara kami sedang menghadapi krisis air,” kata Gres Gracelia dari Walhi NTT.

Selain itu, ditemukan indikasi manipulasi data jumlah warga yang menolak proyek, dan adanya insentif dari PLN kepada kelompok pro proyek berupa bantuan anakan babi dan kebun.

Gres juga menyoroti kerja sama PLN dengan media untuk membentuk opini publik yang menyudutkan warga penolak, diperparah oleh keberpihakan aparat terhadap perusahaan.

Walhi NTT secara tegas menolak proyek geothermal ini, karena dinilai bertentangan dengan prinsip energi berkeadilan.

Mereka mengecam keputusan Kementerian ESDM dan mendesak pencabutan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017.

Selain itu, mereka menuntut penghentian semua proyek geothermal di NTT, karena proyek-proyek ini tidak tercantum dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) NTT 2025–2034.

PT PLN juga dikritik karena pendekatan “kejar tayang” yang abai terhadap dampak sosial dan lingkungan.

Dalam konteks ini, Walhi menyerukan agar pemerintah pusat menghormati otonomi daerah serta mendengar suara rakyat NTT yang mempertahankan tanahnya bukan demi nostalgia, melainkan demi masa depan yang adil dan berkelanjutan.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS