PARBOABOA, Pematang Siantar - Komisi I DPRD Pematang Siantar mempertanyakan ketimpangan penyaluran pemberian bantuan gizi bagi masyarakat kurang mampu untuk penanganan stunting atau tingkat kekerdilan pada balita di setiap puskesmas di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara.
"Ketimpangan ini pastinya menjadi lampu merah bagi kita semua, sebab ada perbandingan pemberian bantuan di kalangan masyarakat dalam pelaksanaannya selama satu bulan. Itu sudah keterlaluan. Pemerintah harus mencari solusi bagaimana keluhan masyarakat tersebut tidak terulang kembali," kata Anggota Komisi I Pematang Siantar, Tongam Pangaribuan kepada PARBOABOA, Kamis (27/7/2023).
Tongam menilai, anggaran yang telah ditetapkan untuk penanganan stunting bisa melanggar aturan jika dalam pelaksanaannya ditemukan kecurangan dengan cara mengurangi kualitas untuk kebutuhan penanganan stunting.
"Jika memang alokasi anggaran ditemukan adanya pengurangan, DPRD bersama Wali Kota dapat memanggil dinas terkait untuk bertanggung jawab. Jika memang itu ada pengurangan," tegas politisi Partai Nasdem ini.
Komisi I DPRD Pematang Siantar hari ini mengundang Dinas P2KB dan Dinas Kesehatan untuk rapat dengar pendapat terkait dugaan pengurangan anggaran untuk penanganan stunting di lapangan.
Tongam juga meminta Inspektorat Pematang Siantar untuk turun dan menelusuri penggunaan anggaran untuk penanganan stunting yang berasal dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) 2023 tersebut.
Respons Dinkes Pematang Siantar
Kepala Bidang (Kabid) Kesehatan Masyarakat di Dinkes Kota Pematang Siantar, Fitri Saragih menegaskan, penyaluran pemberian bantuan gizi bagi masyarakat kurang mampu untuk penanganan stunting telah sesuai petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian Kesehatan Tahun 2019.
"Pemberian makanan tambahan susu sesuai juknis 90 hari dan dalam pemberian bantuan semua kemasan 400 gram per orang yang peruntukan untuk 1 minggu, baik susu PMT bagi ibu hamil yang kita berikan menggunakan satu merek dan anak-anak penderita kita pergunakan 3 merek susu," jelasnya.
Fitri menegaskan, Dinkes saat ini fokus pada pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dan anak-anak penderita stunting, karena hal itu sesuai dengan anggaran yang diberikan ke dinasnya.
"Secara perhitungan kasarnya, kita sudah memberikan 225 orang anak penderita stunting dan 139 bumil dalam kurun waktu Maret hingga Juli bantuan PMT, dengan anggaran yang sudah dikeluarkan sebesar Rp56.784.000,00, dari DBHCHT tahun ini. Jika memang ada pengurangan kualitas, kita akan tinjau ke lapangan," tegasnya.
Fitri mengakui ada penurunan jumlah balita stunting sejak Maret-Juli, terutama mereka yang telah diberikan intervensi gizi spesifik berupa pemberian makanan tambahan susu dan vitamin tahap I, II dan III, sejumlah 225 balita atau sekitar 79,23 persen dari jumlah balita yang mengalami stunting.
Dengan intervensi itu, lanjutnya, balita tersebut mengalami peningkatan berat badan maupun tinggi badan namun masih tetap dalam kategori status gizi stunting.
"Ada penurunan stunting sekitar 20 hingga 30 persen dari total 277 balita stunting di medio Maret hingga Juli pasca pemberian PMT susu dan vitamin. Untuk bumil yang memiliki riwayat kurang energi kronik ada penurunan sekitar 43 persen pascaintervensi PMT dan vitamin. Ini sesuai dengan info Kemenkes bahwa intervensi gizi spesifik menyumbang penurunan 30 persen stunting," jelas Fitri.
Dari data tersebut, tambah Fitri, dapat disimpulkan bahwa intervensi gizi spesifik dalam penanganan kasus stunting dapat menyumbang 20 hingga 30 persen perbaikan status gizi stunting menjadi tidak stunting dan jika intervensi diberikan dalam seribu hari pertama kehidupan, persentase perbaikan status gizi masih dapat ditingkatkan lebih baik lagi.
"Untuk bumil kurang energi kronik (KEK) bahkan lebih. Penurunannya mencapai 45 persen. Dari seluruh bumil yang memiliki riwayat KEK, yang sudah partus (melahirkan), status gizi bayinya normal, tidak stunting, artinya upaya preventif dinkes berhasil menekan kelahiran stunting baru," imbuhnya.