Parboaboa, Jakarta- Matahari perlahan terbenam, menjadi pertanda berakhirnya langit cerah di Jakarta. Aktivitas warga di ibu kota mulai surut.
Namun tidak dengan Kongko Wijanarko, pelaku seni karakter di Kota Tua, Jakarta Barat.
Lelaki yang akrab disapa Eko itu masih tetap diam mematung sambil berpose ria bersama para pengunjung kawasan wisata Kota Tua.
Ia mengenakan kostum Laksamana Maeda, tokoh perwira tinggi Angkatan Laut kekaisaran Jepang pada masa perang pasifik.
Layaknya patung, wajahnya dibalut dengan make up berwarna coklat agar serasi dengan seragammnya. Begitu pun dengan sepeda ontel yang dihias sedemikian rupa, seperti kendaraan seorang laksamana pada masa penjajahan.
Ia tak pernah mengira bahwa baju dan celana yang penuh dengan cat akan menjadi seragam sehari-harinya dalam mengais rupiah di umurnya yang tak lagi muda.
Baginya, hidup berjalan dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan fokus dengan apa yang ada di depan mata.
“Saya adaptif aja, berpikirnya fleksibel. Apa yang saya bisa, ya saya lakukan,” kata Eko kepada Parboaboa, Rabu (22/02/2023).
Eko mengatakan, dia bekerja dari pukul 09.00 WIB dan pulang pada pukul 21.00 WIB setiap hari.
Hanya ada sedikit waktu untuknya beristirahat dan benar-benar dimanfaatkan olehnya.
Eko bercerita, sebelum menjadi manusia patung atau human statue, ia pernah bekerja sebagai karyawan, pegawai bank, pedagang, hingga kuli bangungan.
Ia pertama kali datang ke Jakarta pada tahun 1999. Kala itu, usianya masih 21 tahun. Bermodalkan pergaulan, ia mencoba bertahan hidup di ibu kota dengan mengerjakan bermacam hal.
Singkat cerita, setelah berjibaku di ibu kota selama 7 tahun, Eko akhirnya memutuskan untuk pulang kampung setelah mengalami berbagai dinamika di tempatnya bekerja.
Di Lampung, ia bekerja membantu saudaranya berdagang. Selama di kampung halaman, Eko merasakan kehidupan yang baik-baik saja, hingga akhirnya rasa bosan menghampirinya.
Hasrat ingin merantau ke ibu kota kembali menggebu-gebu dalam dirinya.
Pada tahun 2012, Eko kembali terbang ke Jakarta. Ia lantas bertemu dengan teman lama yang bekerja sebagai pegawai bank di sekitaran Kota Tua.
Ia kemudian mencoba berdagang di sekitaran Kota Tua yang pada waktu itu sangat marak pedagang kaki lima.
“Waktu itu PKL banyak banget, pokoknya Kota Tua itu berantakan deh. Banyak pengamen, banyak badut, banyak manusia silver dan emas. Sampai akhirnya di era Pak Ahok (2014), baru deh mulai bersih Kota Tua,” kenangnya.
Wacana revitalisasi Kota Tua mencuat saat era Gubernur DKI Jakarta Ahok. Eko yang saat itu berprofesi sebagai pedagang kaki lima juga turut terkena imbasnya.
Ia kemudian memutar otak untuk mencari uang dengan mengikuti salah satu manusia patung di Kota Tua.
Pada saat itu, perjalanan Eko sebagai manusia patung pun dimulai. Ia pertama kali mengenakan busana Aladin yang melayang. Seni karakter itu disebut sebagai human levitation.
Ia sempat berulang kali mengalami kegagalan untuk menciptakan alat atau besi yang digunakannya agar bisa melayang.
Perjalanannya pun tak mulus. Ia harus mengikuti seleksi dari pihak pengelola Kota Tua untuk dapat beraksi.
Eko menjadi saksi mata atas perubahan kawasan wisata Kota Tua dalam 12 tahun terakhir, mulai dari penataan hingga penertiban kawasan.
Bahkan ketika pandemi, keuangan Eko sangat terpukul. Pasalnya, aktivitas wisata di Kota Tua dibekukan selama 2 tahun.
Beruntung, ia masih dapat bertahan karena memiliki usaha kuliner kecil-kecilan yang terletak tak jauh dari Kota Tua.
Ketika pemerintah mencabut status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Eko mengaku, penghasilannya mulai meningkat signifikan ketika kembali aktif mematung. Ia dapat meraup Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per harinya.
Selain menjadi tempat mencari rezeki, Eko juga jatuh cinta dengan wilayah yang dulunya jadi pusat pemerintahan kolonial belanda itu.
Baginya, Kota Tua sudah seperti rumah keduanya. Suka dan duka dalam hidupnya selama belasan tahun terakhir terjadi di Kota Tua.
Ia selalu menjadi garda terdepan ketika pihak pengelola berdikusi tentang ide ataupun gagasan demi kebaikan Kota Tua ke depannya.
Eko selalu berharap agar Kota Tua dapat menjadi ikon wisata Jakarta yang tak lekang oleh waktu. Pasalnya, perkembangan peradaban Jakarta berawal dari Kota Tua yang dulunya menjadi pusat pemerintahan VOC dan Hindia Belanda.
Ia bahkan bercita-cita untuk mengenalkan Kota Tua di mata dunia lewat kompetisi humanoid pada tingkat internasional.
Saat ini, Eko menjabat sebagai ketua komunitas Seni Karakter Kota Tua (SKKT). Ia menaungi 42 pelaku seni karakter lainnya.
Mulai dari noni belanda, pahlawan nasional, hingga karakter festival yang sehari-hari menghidupkan suasana Kota Tua.
Di dalam komunitas, ia juga kerap memberi bantuan saat anggotanya kesulitan menemukan ide kostum ataupun konsep karakter demi menghidupkan suasana di Kota Tua.
“Saya selalu tekankan kepada teman-teman, harus tampil maksimal ketika sedang bekerja. Gimana caranya supaya pengunjung itu punya kesan ketika pulang dari Kota Tua. Jadi, sewaktu-waktu mereka akan kembali lagi,” kata dia.
Menjadi pelaku seniman di kota Tua tak mengenal umur, status, dan gender.
Amelia (21) misalnya. Wanita asal Tangerang ini baru menggeluti dunia humanoid selama 6 bulan. Ia menggunakan konsep noni belanda sambil berpayung di tengah teriknya matahari.
“Kota Tua itu banyak cerita ya di sini. Sedihnya, senangnya. Gampang cari duit salah satunya. Terus banyak teman juga,” kata dia kepada Parboaboa beberapa waktu lalu.
Amelia tak muluk-muluk soal pekerjaan. Yang terpenting baginya adalah bagaimana bisa tetap menghasilkan uang demi membesarkan sang buah hati.
Di lain sisi, ia juga merasa senang jika anak-anak mengerumuninya sambil berfoto ria. Sehingga, pekerjaan yang membuatnya harus berdiri seharian itu terasa tak begitu berat.
Selain itu, senyum ramah yang ia lontarkan kepada para pengunjung juga terbalaskan.
“Saya senang aja sih kalau misalnya ada anak-anak yang ngomong ke orang tuanya mau ke Kota Tua karena mau liat Noni Belanda. Saya kan jadi makin semangat, gitu,” imbuhnya.
Begitu pun dengan Yusuf Subagio (53) sang Gatot Kaca Kota Tua. Ia adalah salah satu sosok yang paling tua menggeluti dunia humanoid di Kota Tua.
Lelaki asal Malang itu sudah malang melintang merasakan kerasnya kehidupan di ibu kota hingga akhirnya memilih menjadi ‘patung hidup’ di Kota Tua.
“Meskipun saya harus kerja panas, hujan, saya engga merasa berat. Karena saya senang dengan pekerjaan itu,” kata dia.
Editor: Betty Herlina