PARBOABOA, Jakarta - 29 Mei 2014 silam, untuk pertama kalinya, Jokowi mengunjungi korban lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Saat itu, ia mendatangi korban dalam kapasitasnya sebagai capres.
Di hadapan warga, mantan Gubernur DKI Jakarta ini geram melihat ketidakberpihakan negara, yang tak kunjung membereskan borok proyek raksasa yang dibangun di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudyohono (SBY) itu.
Tak bertele-tele, ia langsung meneken kontrak politik dengan warga, berjanji memberikan ganti rugi bagi korban yang harta benda dan rumahnya tenggelam, akibat lumpur panas yang mengacapi tanah kelahiran mereka.
Setahun berselang, tepatnya 25 Agustus 2015, ketika ia terpilih sebagai presiden, Jokowi kembali mengunjungi korban dengan janji yang sama, yakni memberikan ganti rugi serta membantu mengurusi lingkungan yang rusak.
Namun sayangnya, Janji Jokowi belum sepenuhnya terealisasi. Hal itu disebut dalam siaran pers organisasi masyarakat sipil di Sidoarjo, Selasa (13/2/2024), bertajuk, 'Pemilu Memilukan: Cengkraman Oligarki Menguat, Derita Warga dan Lingkungan Kian Menumpuk'.
Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) memotret, janji ganti rugi tersebut belum sepenuhnya tuntas.
Dan, yang ironis, atas nama ganti rugi, pemerintah justru menggunakan dana talangan yang bersumber dari keuangan negara.
Bukan dari korporasi selaku aktor tunggal yang melenyapkan rumah-rumah warga, sekolah, masjid, pabrik dan lahan garapan ribuan warga 12 desa di Kecamatan Porong, Jabon dan Tanggulangin, Sidoarjo.
Lebih memprihatinkan, rezim pemerintahan Presiden Jokowi saat ini melalui kementerian ESDM, telah memperpanjang operasi perusahaan Lapindo Brantas Inc di ladang minyak dan gas, Blok Brantas hingga 2040 nanti.
Kebijakan ini menurut organisasi masyarakat sipil memperparah derita rakyat akibat kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi saat ini di mana lahan pertanian, sumur air, udara hingga ekosistem laut tercemar.
"Iya, janjinya kan menyelesaikan, tetapi hingga saat ini belum benar-benar diselesaikan, terutama soal masalah lingkungan dan kesehatan," kata Direktur WALHI Jawa Timur (Jatim), Wahyu Eka Setiawan kepada PARBOABOA, Selasa (13/2/2024).
Wahyu juga menyayangkan eksploitasi migas yang tengah berlangsung, tak pernah dicabut izinnya, tetapi malah diperpanjang hingga belasan tahun ke depan.
Menurutnya, semakin panjang izin perusahaan beroperasi dan semakin banyak titik-titik yang dieksploitasi untuk migas, semakin panjang pula derita warga.
"Lalu obral izin migas juga semakin banyak," katanya.
Kerusakan lingkungan efek semburan lumpur lapindo diakui juga oleh warga Porong, Sidoarjo, Harwati. Ia membenarkan, Presiden Jokowi pernah menjanjikan dana talang, tetapi realisasi terbatas.
Selain itu, hingga saat ini belum pernah ada dana pemulihan kerusakan lingkungan sebagaimana pernah dijanjikan beberapa kali oleh presiden.
"Jokowi kan janji untuk dana talangan dari negara mas, soal lingkungan gak ada," kata Harwati kepada PARBOABOA.
Dia menambahkan, sekitar 92% warga terdampak mendapatkan pembayaran dengan sistem jual-beli, sisanya sekitar 78 berkas dan dokumen tanah dan bangunan warga belum terbayar.
Dengan sistem tersebut, sebagian keluarga korban lumpur lapindo kata Harwati bukannya mendapatkan ganti rugi, karena sistemnya jual-beli.
"Kalau jual asetnya baru mereka mendapatkan uang, kalau nggak jual aset nggak akan dapat apa-apa," jelasnya.
Wahyu Eka Setiawan menambahkan, Tak hanya di Sidoarjo, sektor pertambangan bermasalah hampir tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Celakanya, pertambangan tidak hanya berimplikasi buruk terhadap warga sekitar tetapi telah bermasalah sejak perizinan.
Wahyu berkata, "tercatat, ada enam ribu izin tambang yang diterbitkan secara sepihak tanpa persetujuan warga selaku pemilik sah atas ruang hidup."
Utang Sosial-Ekologis tak Terselamatkan melalui Pemilu
Sementara itu, JATAM menilai utang sosial-ekologis akibat industri pertambangan, sebagaimana diderita rakyat, tak mampu diselamatkan lewat kontestasi pemilu saat ini.
Koordinator JATAM Nasional, Melky Nahar mengatakan, hal itu sulit terealisasi karena menguatkan solidaritas oligarki tambang di balik para peserta pemilu, baik capres-cawapres maupun calon legislatif.
Dalam kenyataannya kata Melky, para oligarki rentan menjadi pemburu rente dalam setiap momentum elektoral untuk kepentingan bisnisnya. Apalagi sebagian dari mereka merupakan orang-orang penting di partai politik.
"Mereka bukan hanya masuk melainkan mengendalikan kebijakan politik karena sebagian diantaranya berada di pucuk pimpinan partai politik," tegas Melky.
Kecemasan inilah yang membuat organisasi masyarakat sipil dan warga lingkar tambang dari sejumlah daerah di Indonesia berkumpul di Porong, Sidoarjo menyatakan komitmen menolak kejahatan korporasi mengekpolitasi hak-hak mereka.
"Kami datang dari daerah krisis, sebagai sesama warga yang sudah dan akan dikorbankan oleh kebijakan pemerintah untuk industri ekstraktif," kata mereka.
Mereka juga menolak terjebak pada janji dan narasi elite politik yang sering mengumbar janji kosong menyelamatkan hidup mereka tetapi tidak pernah terealisasi secara tuntas.
Editor: Rian