Waspada! Jateng dan Jatim Berstatus Siaga Darurat Kekeringan

Peta sebaran hari tanpa hujan yang dirilis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). (Foto: bmkg.go.id)

PARBOABOA, Jakarta – Sebagian wilayah di Pulau Jawa saat ini sedang mengalami hari tanpa hujan yang panjang, dengan durasi berkisar di 40 hingga 50 hari.

Kondisi tersebut membuat 70 persen kabupaten/kota di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami kekeringan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, kabupaten/kota di Jateng dan Jatim ini juga telah menyatakan status siaga darurat kekeringan.

Selain di Pulau Jawa, hari tanpa hujan juga telah terjadi di Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, prakiraan cuaca untuk tiga hari ke depan juga tidak ada yang signifikan.

"Artinya kekeringan masih akan terjadi," katanya dalam konferensi pers BNPB, Senin (29/7/2024).

Berkaca pada peristiwa terbakarnya Gunung Bromo dan Arjuno di 2023, BNPB lantas mewanti-wanti masyarakat di Pulau Jawa, khususnya yang ada di kawasan rentan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak membuat api atau membakar sampah.

Hal itu mengingat secara statistik, kebencanaan di Indonesia didominasi kejadian kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan. Kondisi ini telah terjadi sejak pekan lalu hingga pekan depan.

"Bahkan sepekan terakhir, telah terjadi 29 kejadian karhutla," kata Aam, begitu sapaan akrab Abdul Muhari.

Jika dirinci, kawasan Jawa, Sumatra dan Kalimantan sangat rentan terjadinya karhutla. Terutama di Sumatra dan Kalimantan yang sebagian besar merupakan kawasan gambut. Sehingga begitu masuk musim kering, maka sangat rentan kejadian Karhutla.

Peringatan BMKG

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah memberi peringatan terhadap ancaman kekeringan yang mengintai hampir seluruh wilayah di Indonesia saat musim kemarau ini.

Prediksi BMKG, kekeringan dan kemarau akan mendominasi Indonesia hingga September 2024 mendatang.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengingatkan, wilayah Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara berpotensi mengalami kekeringan pada Agustus 2024.

Kekeringan disebabkan karena curah hujan yang sangat sedikit terjadi di sejumlah wilayah tersebut.

Selain itu, kekeringan masih akan melanda sebagian Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Timur pada Oktober 2024.

Oleh karenanya, Dwikorita mengingatkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk bergerak cepat melakukan mitigasi dan mengatasi dampak kekeringan di wilayah-wilayah tersebut.

BMKG juga merekomendasikan agar pemerintah daerah mengisi waduk-waduk di wilayah-wilayah yang berpotensi mengalami kondisi kering saat musim kemarau.

Kemudian, selalu memastikan koneksitas jaringan irigasi dari waduk ke kawasan yang terdampak kekeringan benar-benar memadai.

Agar upaya modifikasi cuaca terlaksana efektif dan efisien untuk memitigasi potensi bencana kekeringan. 

Tak hanya kekeringan, BMKG juga mengingatkan kemunculan titik panas (hotspot) di wilayah-wilayah yang rawan karhutla.

BMKG lantas merekomendasikan pemda untuk membasahi dan menaikkan muka air tanah pada daerah yang rawan mengalami karhutla atau di lahan gambut.

Sementara untuk daerah yang masih mengalami hujan atau transisi dari musim hujan ke musim kemarau, BMKG mengingatkan untuk mengoptimalkan upaya memanen air hujan.

Misalnya menyiapkan tandon/tampungan air, embung-embung, sumur-sumur resapan dan kolam-kolam retensi.

Hal itu, kata dia bagian dari upaya mitigasi dampak kejadian ekstrem hidrometeorologi basah yang sedang dilakukan pemerintah.

Jawa, Bali, NTT dan NTB Alami Curah Hujan Sangat Rendah

BMKG menyatakan, wilayah Jawa, Bali, NTT dan NTB akan mengalami curah hujan yang sangat rendah.

Curah hujan di beberapa wilayah tadi diperkirakan mencapai kurang dari 50 milimeter (mm) per bulan.

Kondisi tersebut berpeluang terjadi sepanjang Agustus hingga Oktober 2024.

Adapun upaya mitigasi yang bisa dilakukan pemerintah, salah satunya penerapan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC), untuk mengoptimalkan pertumbuhan awan hujan pada periode transisi sebelum memasuki puncak kemarau. 

Tujuannya, mengisi tampungan air atau waduk di daerah yang berpotensi mengalami kekeringan tersebut.

 

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS