Robert Sudjasmin memperjuangkan Haknya (Bagian Kedua)
PARBOABOA - Walikota Jakarta Utara R. Moeljadi mengirimkan surat teguran ke pimpinan PT Summarecon Agung, pada 4 Januari 1991.
Pasalnya, perusahaan pengembang milik Soetjipto Nagaria (Liong Sie Tjien) masih terus membangun di lahan berstatus sengketa.
“Sebelum adanya penyelesaian masalah sertifikat H.M No.139/Pegangsaan II dan untuk mencegah berkembangnya permasalahan di lapangan diminta kepada Saudara agar menghentikan kegiatan pembangunan dalam waktu 1x24 jam (1 hari) setelah menerima surat ini,” tulis Walikota R. Moeljadi.
Sertifikat H.M (hak milik) No.139/Pegangsaan II yang terletak di Kecamatan Koja menurut Walikota tersebut adalah atas nama Robert Sudjasmin.
Masih dalam surat teguran itu, R. Moeljadi mengungkapkan bahwa sesuai rapat koordinasi instansi terkait tingkat wilayah Kota Jakarta Utara dan Musyawarah Pimpinan Kota (Muspiko) Jakarta, sebuah tim telah meninjau lahan sengketa itu pada 10 Desember 1990.
Sebagai tindak lanjutnya, pada 26 Desember 1990 para pihak diundang Walikota Jakarta Utara untuk bertemu. Kala itu hadir wakil Summarecon yang bernama Herman.
Dalam pertemuan tersebut perusahaan pengembang yang berbasis di Kelapa Gading diminta untuk menghentikan kegiatan pembangunan di atas sebagian tanah SHM No. 139/ Pegangsaan II.
Ternyata, Summarecon meneruskan pembangunan sehingga Walikota Jakarta Utara R. Moeljadi melayangkan surat teguran bertanggal 4 Januari 1991.
Merasa sebagai yang berhak, Summarecon lantas menempuh jalur hukum. Masih di tahun 1991, mereka memperkarakan dokter gigi Robert Sudjasmin di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Bukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) perkara ini diproses kemudian kendati negaralah yang melelang tanah yang dipersengketakan.
Perkara
Pada 1988 Summarecon mengajukan permohonan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) supaya tanah H.M (hak milik) No.139/Pegangsaan II yang berada Kelapa Gading tidak dilelang.
Alasannya? Persil itu masuk area Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) Summarecon yang bernomor 1805/IV/85.
Mereka lantas menyatakan ingin membelinya. Penawaran mereka ajukan yakni Rp 85 juta. PUPN menolak sebab harga pasaran tanah berluas 8.320 m2 setidaknya Rp 100 juta.
Adapun utang CV Griya Tirta kepada perusahaan negara bernama Industri Sandang I (lebih dikenal sebagai PN Sandang) adalah Rp 106 juta.
Tak ada titik temu dengan Summarecon, seperti telah disebut di tulisan bagian pertama, Kantor Lelang Negara lalu melakukan lelang terbuka pada 5 Maret 1990.
Aset CV Griya Tirta yang dijadikan jaminan, termasuk kapling bersertifikat hak milik (SHM) Nomor 139/Pegangsaan Dua atas nama Abdullah bin Naman, yang mereka tawarkan.
Lelang tanah SHM 139 dimenangi Robert Sudjasmin. Dokter gigi lulusan UI pun membayar Rp 629,4 juta kepada Kantor Lelang Negara.
Robert Sudjasmin segera pergi ke kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membalik nama dari Abdullah bin Naman menjadi Robert Sudjasmin.
Tak lama berselang, petugas BPN memasang patok seusai menetapkan titik koodinat. Ternyata, patok dibongkar Summarecon esoknya.
Robert Sudjasmin dan kesebelas koleganya sesama dokter yang berpatungan untuk membangun rumah sakit di Kelapa Gading meradang. Soalnya, di lahan yang sudah mereka beli Summarecon terus membangun dan membangun.
Mereka akhirnya menggunakan jasa kantor pengacara Minang Warman Sofyan & Associates. Minang Warman merupakan salah satu lawyer paling terkemuka di negeri kita di masa itu.
Pada 3 Agustus 1990 muncul iklan di harian Kompas. Pemasangnya adalah Minang Warman Sofyan & Associates. Kantor pengacara itu menyatakan bahwa kliennyalah pemilik lahan kosong 8.320 meter2 di Kelurahan Pegangsaan Dua, Koja.
Tepatnya di Jl. Kelapa Gading Boulevard. Itu, kata mereka, sesuai Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) Nomor 286/PT/JU/1990 tanggal 3 Maret 1990 serta Risalah Lelang Nomor 338/1989-1990 tanggal 5 Maret 1990.
“Bahwa akhir-akhir ini terdapat indikasi adanya pihak-pihak yang hendak memperjual-belikan dan membangun tanpa prosedur di atas tanah milik klien kami, sehingga oleh karena itu KAMI PERLU MENYAMPAIKAN PERINGATAN KEPADA KHALAYAK RAMAI AGAR TIDAK MELAKUKAN TRANSAKSI JUAL-BELI ATAU PENGALIHAN HAL DALAM BENTUK APA PUN ATAS TANAH YANG DIMAKSUD...” Begitu terusan teks iklan itu.
Peringatan tak diindahkan Summarecon. Masalah terus menggelinding. Otoritas negara pun turun tangan. Keluarlah surat teguran Walikota Jakarta Utara, R. Moeljadi tadi.
BPN Membantah Summarecon
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Begitulah yang terjadi. Summarecon Agung tetap membangun di lahan H.M (hak milik) No.139/Pegangsaan II. Merekalah yang malah mengadu kemudian ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Bukan Robert Sudjasmin saja yang mereka gugat tetapi juga Abdullah Bin Naman, Badan Urusan Piutang Negara Wilayah IV Jakarta, Kantor Lelang Kelas I Jakarta, Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara, dan Walikota Jakarta Utara.
Menjawab gugatan ini, Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Jakarta Utara pun bersurat lewat pengacaranya kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, pada 24 April 1991.
Mereka menjelaskan duduk masalah. Berikut ini inti pernyataan mereka.
Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan tidak ikut digugat Summarecon. Sebab itu, para pihak tidak lengkap. Itu poin pertama.
Lantas, gugatan tak jelas (abscuur libel). Soalnya, di sana tak satu pun dikemukakan dalil-dalil yang menyatakan Tergugat III (Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara) telah melakukan kesalahan dalam proses penerbitan sertifikat Hak Milik Nomor 139/ Pegangsaan Dua.
Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara menyatakan status seluruh tanah di Desa (Kelurahan) Pegangsaan Dua serba jelas. Kalau menggunakan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri bertanggal 10 Februari 1970, Desa Lengkap sebutannya.
Penyelidikan riwayat serta penetapan batas-batas dan pensahannya telah dilakukan panitia yang diketuai Petugas Instansi Pertanahan. Ini sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961.
Kapling seluas 8.320 m2 yang ada di sana, tegas Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara dalam suratnya ke Ketua Pengadilan Jakarta Utara pada 24 April 1991, bernomor 40 dan 41 di peta pendaftaran PP Nomor 10 Tahun 1961. Merupakan tanah bekas Hak Milik Adat Girik C Nomor 1090 Blok 76/SI, terdaftar atas nama Abdullah Bin Naman.
Abdullah Bin Naman kemudian mengkonversinya menjadi Hak Milik Nomor 139/ Pegangsaan Dua. Tetap nama dia yang tertera sebagai pemilik.
Sesuai ketentuan, menurut Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara, ia menyerahkan bukti kepemilikan berupa girik C (Nomor 1090 Nomor Persil 76/SI) atas nama Abdullah Bin Naman, Surat Keterangan Riwayat Tanah dari Kepala Ipeda DKI Jakarta, dan bukti pembayaran iuran/pajak.
“Dengan demikian maka keabsahan sertifikat Hak Milik No. 139/ Pegangsaan Dua seluas 8.320m2 yang tertulis atas nama Abdullah Bin Naman tersebut tidak diragukan lagi,” tegas Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara dalam suratnya ke Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, pada 24 April 1991.
Otoritas sudah menegaskan legalitas sertifikat Hak Milik No. 139/ Pegangsaan Dua. Dengan begitu Robert Sudjasmin dan para koleganya seharusnya sudah bisa melenggang untuk menghadirkan rumah sakit impian.
Nyatanya, jauh panggang dari api. Harapan kian menjauh saja. BPN sendiri menelan ‘muntah’ sendiri kemudian dengan melakukan manuver luar biasa.
“Permufakatan jahatlah yang terjadi. Saya menjadi korban orang-orang yang sangat licin dan jahat,” ucap Robert Sudjasmin yang masih terus memperjuangkan haknya meski dirinya telah berusia 83 tahun.
Seperti apa gerangan permufakatan jahat yang ia maksudkan?
Bersambung...
Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait
Editor: Hasudungan Sirait