PARBOABOA, Jakarta – Konflik terkait Hak Guna Usaha (HGU) di Nangahale, Maumere, kembali mencuat dan menjadi perhatian berbagai pihak. Masalah utama dalam konflik ini berakar pada perbedaan pemahaman antara masyarakat adat dan pemerintah terkait kepemilikan tanah, serta pendekatan hukum yang berbeda antara tradisi lisan dan hukum tertulis.
Simpli de Flores, sosok yang aktif dalam kajian dan advokasi masyarakat adat mengatakan, terdapat perbedaan mendasar dalam memahami konsep masyarakat adat antara komunitas adat itu sendiri, negara, akademisi, dan media.
Kata dia, masyarakat adat mendasarkan identitasnya pada hubungan darah dan sejarah silsilah keturunan, sedangkan negara mengakui lembaga adat yang berbasis pada undang-undang dan regulasi tertulis. Perbedaan ini sering kali menimbulkan konflik dalam penentuan hak kepemilikan tanah.
“Konflik di Nangahale bukan hanya soal klaim kepemilikan tanah, tetapi juga merupakan benturan antara tradisi lisan dan sistem hukum tertulis. Masyarakat adat mengandalkan tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun untuk menentukan batas kepemilikan tanah, sementara pemerintah menggunakan dokumen dan sertifikat sebagai dasar hukum,” ujarnya.
Lebih lanjut, perbedaan nomenklatur dalam penggunaan istilah ‘masyarakat adat’ juga menjadi salah satu penyebab ketegangan. Dalam konteks hukum negara, masyarakat adat dianggap sebagai warga yang dapat diberikan hak melalui sertifikat atau surat keputusan, sedangkan dalam pandangan masyarakat adat sendiri, status mereka ditentukan oleh hubungan genealogis dan warisan leluhur.
Persoalan ini semakin rumit karena adanya perubahan kebijakan yang terjadi setiap kali terjadi pergantian kepala daerah dan pejabat terkait. Setiap pergantian Bupati atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) sering kali diikuti oleh kebijakan baru yang terkadang tidak menyelesaikan permasalahan lama, tetapi justru menambah kompleksitas konflik yang ada.
Dalam konteks Nangahale, masyarakat adat menuntut pengakuan atas tanah ulayat mereka yang diwariskan turun-temurun. Namun, disisi lain, pihak pemerintah dan perusahaan yang memiliki sertifikat HGU berpegang pada legalitas dokumen yang mereka miliki. Hal ini menciptakan situasi di mana kepentingan kedua belah pihak sulit dipertemukan.
Sebagai solusi, Simpli de Flores mengusulkan agar dilakukan dialog yang lebih mendalam antara masyarakat adat, pemerintah, dan pihak-pihak terkait untuk mencari titik temu dalam penyelesaian konflik ini. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat harus diimbangi dengan pendekatan hukum yang adil dan transparan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
“Penting bagi kita untuk menemukan jalan tengah yang mengakomodasi kepentingan semua pihak. Pemahaman yang lebih baik tentang masyarakat adat dan hak-hak mereka harus menjadi dasar dalam perumusan kebijakan ke depan,” pungkasnya.
Untuk diketahui, konflik agraria seperti yang terjadi di Nangahale bukan hanya terjadi di satu wilayah, tetapi merupakan permasalahan yang umum terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Penyelesaian yang berbasis keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, dinilai akan menjadi kunci dalam menciptakan harmoni dan keberlanjutan di masa depan.