PARBOABOA, Pematang Siantar – Divonis tidak bisa berjalan, Laura Tyas Avionita Sinaga sempat menjalani hari-hari penuh frustasi. Kaki yang jadi tumpuan tubuhnya lumpuh dan kursi rodalah penopang utama untuk bisa bergerak. Lantas apakah dia menyerah?
Justru keterbatasan yang dimilikinya menjadi sumber bahan bakar semangat. Hidupnya penuh produktif dan memenangkan penghargaan internasional lewat kemampuan menarinya.
Kepada PARBOABOA, Laura bercerita, jika dia adalah seorang penyintas self injury, yakni kondisi mental yang ingin melukai diri sendiri. Ada beragam percobaan bunuh diri pernah dilakukannya dan pernah gagal dalam rumah tangga hingga anak dalam kandungannya mengalami keguguran.
“Aku sempat berada di titik terendahku. Pada saat umur 20 tahun aku dihadapkan sama keadaan yang aku gatau bisa lewatin apa gak,” ucapnya saat ditemui di sanggar di Jalan W R Supratman, Pematang Siantar, belum lama ini.
Setelah beragam ujian berat menghantam hidupnya bertubi-tubi selama berbulan-bulan, Laura seperti hidup kembali. Seorang teman mengajaknya untuk menari di sebuah acara dan disanggupinya. Padahal pada saat itu dia masih terbaring lemah di tempat tidur.
Atas ajakan itulah, jadi titik awal semangat hidupnya mulai berjalan kembali. Dicarinya penari berbakat lewat media sosial lalu diseleksinya.
“Saat itu saya belum pulih. Penari pilihan saya saja, saya rias (make up) sambil saya berbaring. Ini mukjizat Tuhan,” katanya.
Inspirasi Laura pun semakin liar. Perempuan kelahiran 1997 ini, nekat membuka sanggar tari Simalungun Home Dancer (SIHODA) di keterbatasan fisiknya. Saat itu ada 40 orang yang mendaftar dan dituangkannya ilmu yang dimilikinya ke peserta didiknya.
Alasan Laura membuka sanggar tari karena ingin tarian batak Simalungun bisa lebih berkembang dan dikenal banyak orang seperti tarian tradisional nusantara lainnya. Hingga kini peserta sanggar tari SIHODA ada sekitar 60-an lebih, di mana tempat latihannya fleksible, terkadang rumah tinggalnya jadi base camp.
“Selain itu, secara umum tim SIHODA juga mempelajari semua genre tarian,” jelasnya, jika SIHODA sendiri sebelumnya sudah dibentuk di Kota Medan pada 2014, tapi karena kepindahannya ke Pematang Siantar untuk menjalani pengobatan, akhirnya dibukanya kembali sanggar pada 2018 di kota bermaskot becak ini.
Dari Kursi Roda Go Internasional
Laura yang semakin pulih lewat pengobatan rutin, akhirnya dia bisa duduk di kursi roda. Lantas dimulainya kembali menari dengan kreatifitasnya.
“Saya menari sambil duduk di kursi roda,” ucapnya.
Tidak disangka, disabilitas yang disandangkan, justru menjadi titik karir menarinya semakin melejit. Dia pun menjadi terkenal dengan sebutan “Laura Sang Penari”. Tidak mudah memang apa yang dilakukannya karena dia harus melakukan beberapa gerakan koreografi sambil duduk.
“Aku sempat sedih, hidupku kosong karena harus hidup cacat. Aku dibawa berobat kemana-mana semuanya mendiagnosa tidak bisa duduk, sampai ada benjolan di punggung. Namun karena aku sering nari sebelumnya, yang mana aku rajin gerak, membuat benjolannya perlahan pulih,” terangnya.
Laura yang seorang disabilitas bersama timnya kemudian mendapat penghargaan tari di Turki. Kesempatan itu berawal dari sebuah postingan Rosmala Sari Dewi, seorang koreografer tari dari Jakarta yang dia gemari (fans), mengadakan tantangan secara terbuka untuk menampilkan tarian daerah.
“Saat itu saya tidak mau membuang kesempatan tersebut. Tentu saya ambil,” ucapnya.
Lewat tantangan tersebut, Laura memiliki hubungan kedekatan dengan Rosmala. Siapa sangka, jalan karirnya bisa sampai melangkah hingga ke Turki bersama timnya untuk menampilkan pertunjukan di sebuah festival tari. “Dari banyaknya grup tari yang diseleksi, SIHODA menjadi yang terpilih,” ungkapnya.
Begitu mendapat kabar baik jika timnya punya kesempatan hadir ke festival di Turki, perjuanganya kembali diuji. Dia harus mengeluarkan biaya sendiri untuk bisa ke sana. Lewat beragam cara, mulai dari menggelar pertunjukan, membuka open donasi dan menjual cinderamata, akhirnya mereka berhasil terbang ke luar negeri.
“Perjuangannya berat, tapi semangat kami membuahkan hasil, pada 2021 kami pulang ke tanah air dengan menjadi juara satu,” tandasnya.
Langkah kemenangannya kembali berlanjut di 2022, Laura bersama tim tarinya kembali memperoleh juara satu di festival serupa yang dilangsungkan di Turki.
“Tim SIHODA dapat kembali mengikuti festival pada 2023 mendatang. Kita berharap, pemerintah bisa melihat dan mengapresiai bakat dan nama baik yang kami bawa ke luar negeri,” ucapnya.
Laura dan tim tarinya konsisten, setiap tampil (performance), mereka hanya membawakan jenis tarian tradisional khas Simalungun dan kombinasi. Tujuannya satu, bisa dikenal banyak orang hingga mancanegara.
“Sebelum menyandang disabilitas, aku orangnya aktif kak dulu, menjadi penari kesana kemari, suka make up-in orang, ikut organisasi dan komunitas, hingga membuka kelas seni untuk anak bantaran sungai Deli. Apapun proses yang terjadi, saya mensyukurinya hingga sampai pada titik ini akan terus semangat,” ucapnya.
Laura tidak akan berhenti berkarya dan menularkan hal-hal positif ke sekitarnya. Di tengah keterbatasan tubuhnya dan kemampuan luar biasa dimilikinya, perempuan berusia 25 tahun ini akan terus menari sebagai profesinya secara profesional. Tidak ada kesulitan tanpa kemudahan. Itulah yang selalu dipancarkannya lewat karya tampilannya di tengah kehidupan disabilitasnya.