PARBOABOA, Tebing Tinggi - Sebanyak lima kecamatan yang ada di wilayah Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara (Sumut) masuk kategori kawasan kumuh, dengan total luas keseluruhan mencapai 290,89 Hektare (Ha).
Kepala Bidang (Kabid) Permukiman Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertahanan, Kota Tebing Tinggi, Aswin Pribadi mengatakan, total luasan kawasan kumuh tersebut berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kumuh No 650/1586 tahun 2021.
“Luas kawasan kumuh di Kecamatan Padang Hilir sebesar 32,81 Ha, Kecamatan Padang Hilir 40,84 Ha, Kecamatan Rambutan 72,58 Ha, Kecamatan Bajenis 49,21 Ha, dan Kecamatan Tebing Tinggi Kota 11,45 Ha. Jadi total keseluruhan 290, 89 Ha,” katanya kepada Parboaboa, Selasa (28/03/2023).
Aswin menjelaskan, kriteria perumahan dan permukiman kumuh ditinjau dari tujuh indikator sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) No 2/PRT/M/2016 tentang Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman kumuh.
“Yang mana itu terdiri dari bangunan gedung, jalan lingkungan, penyediaan air minum, drainase lingkungan, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan, dan proteksi kebakaran,” jelasnya.
Ia mengklaim, berbagai upaya telah dilakukan dalam penanganan kawasan kumuh yakni pengurangan kawasan kumuh secara parsial dan berkala melalui perbaikan Rumah Tidak Layah Huni (RTLH), perbaikan jalan, serta drainase.
“Dan kita juga selalu memasukkan proposal bantuan kepada pusat dan juga ke provinsi dalam hal penanganan kawasan kumuh,” pungkasnya.
Menanggapi permasalahan kawasan kumuh, Dosen Magister Administrasi Publik Universitas Sumatra Utara (USU), Robert Tua Siregar menilai, Pemko Tebing Tinggi perlu melakukan penataan kawasan permukiman, mengingat luasan kawasan kumuh di Kota tersebut mencapai 290,89 Ha.
“Untuk saat ini, penataan kawasan kumuh menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pemerintah, khususnya bagi daerah yang memiliki pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Permukiman kumuh diartikan sebagai lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak layak huni,” ucapnya kepada Parboaboa, Rabu (05/04/2023).
Dikatakannya, Tebing Tinggi sebagai kota transit tentunya memiliki peluang yang sangat besar terhadap sebaran pemukiman padat lantaran menjadi tujuan hinterland mencari kerja.
“Namun di sisi lain, pemerintah memiliki keterbatasan untuk menyediakan permukiman baru yang terjangkau bagi masyarakat marginal. Sehingga para pendatang akan memilih alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di Kota Tebing Tinggi,” ujarnya.
Kendati demikian, Robert mengungkapkan bahwa ada salah satu strategi untuk mengentaskan persebaran permukiman kumuh yang tidak terkendali, yakni dengan penataan kawasan berkonsep Collective Housing.
Konsep Collective Housing sendiri merupakan satu atau lebih bangunan yang terdiri dari beberapa rumah, serta setiap rumah dihuni oleh sebuah keluarga dimana satu dengan lainnya akan memunculkan sense of belonging.
“Perbaikan permukiman kumuh dengan cara memperbaiki lingkungan fisik dan fasilitas publik dalam komunitas, namun dengan tetap mempertahankan lokasi, karakter, dan struktur sosial masyarakat lokal,” jelasnya.
Di samping itu, kata dia, relokasi atau resettlement juga bisa menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman kumuh.
“Kota Tebing Tinggi sudah sangat perlu dilakukan relokasi atau resettelement, karena kota ini sering mengalami banjir dari daerah hulu. Sehingga kawasan permukiman yang ada di bantaran sungai yang notabene merupakan dominan ilegal, sudah sangat perlu dilakukan kegiatan relokasi demi keselamatan warga, sehingga bantaran sungai dapat dikelola dengan baik,” tukasnya.
Editor: Dimas