PARBOABOA, Pematang Siantar - Pendidikan seks bagi anak-anak di seluruh dunia, terutama di Kota Pematang Siantar, Sumatra Utara masih menjadi sebuah permasalahan.
Perkembangan teknologi dan digitalisasi pun masih belum mampu mengubah pola pikir masyarakat di kota itu soal pendidikan seks.
Bahkan, masih banyak masyarakat di Pematang Siantar yang menganggap pendidikan soal seks adalah hal yang sangat tabu.
Hal tersebut dibenarkan Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pematang Siantar, Ida Halanita Damanik yang mengakui pendidikan tentang seks di kota itu sering dianggap tidak etis.
"Masih menjadi pembahasan yang “pantang” terutama jika disampaikan kepada anak-anak di bawah umur," katanya kepada PARBOABOA.
Ida mengatakan, pendidikan seks bukan hanya tentang cara manusia bereproduksi.
Pendidikan seks, lanjut Ida, juga bisa mengajarkan anak mengenal alat vital tubuhnya yang tidak boleh disentuh sembarangan oleh orang lain.
"Termasuk orang tuanya, jika tidak ada izin dari pemilik tubuh tersebut," kata dia.
Tidak hanya itu, pendidikan seks di kalangan anak di bawah umur sangat penting, karena dapat membantu menekan tindakan kejahatan seksual.
Apalagi, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindakan tercela dan melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak, khususnya dalam Pasal 81 dan 82.
Ida juga mengeluhkan lambatnya sosialisasi soal pendidikan seks kepada anak di bawah usia 18 tahun. Menurutnya, pendidikan seks harus dimulai sejak taman kanak-kanak (TK).
"Padahal saya sudah pernah mengikuti rapat bersama dinas-dinas terkait di Pematang Siantar terkait hal ini," ungkapnya.
Namun, kata Ida, Dinas Sosial Pematang Siantar berdalih sejauh ini mereka masih dalam proses rapat dan perencanaan tindakan yang tepat terkait isu ini.
"Kalau menurutku, enggak perlu terus-terusan rapat, lebih baik langsung tindakannya saja, karena ini isu yang harusnya dianggap serius," kesal dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan, Kualitas Keluarga dan Perlindungan Anak Kota Pematang Siantar, Ariandi Armas, menilai pendidikan seks untuk anak di bawah umur memerlukan perencanaan yang matang.
"Karena ini permasalahan yang cukup pelik, sehingga membutuhkan pematangan rencana yang jauh," jelasnya.
Pemko Pematang Siantar, lanjut Ariandi, sangat memperhatikan hak-hak anak sebagai prioritas utama.
"Hak anak untuk berbicara, berpendapat, memiliki catatan sipil, dan terutama hak mereka untuk perlindungan dari pelecehan dan kekerasan seksual sangat penting," katanya.
Ariandi mengaku telah melakukan perencanaan sebagai upaya pencegahan terkait isu kekerasan seksual pada anak, meski belum ada konsep yang pasti terkait rencana tersebut.
“Kami berharap bahwa sebelum rencana ini rampung dan disosialisasikan. Seluruh pihak terkait harus aktif berpartisipasi dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak dan meningkatkan kesadaran terhadap isu ini," tambahnya.
Diketahui, Kota Pematang Siantar pernah berada dalam zona merah darurat kekerasan seksual terhadap anak.
Data Komnas Perlindungan Anak menyebut, zona merah tersebut terjadi dari 2018 hingga akhir 2019. Total kasus di periode itu sebanyak 112 kasus.
Sementara untuk periode 2020, 2021, 2022 dan 2023, belum ada pembaruan data terkait kasus kekerasan seksual anak di Pematang Siantar.
Namun, baru-baru ini, marak terjadi kasus kekerasan seksual pada anak. Salah satunya yang pernah terjadi di Museum Simalungun, Agustus 2023 lalu.
Saat itu, seorang penjaga museum melakukan pelecehan seksual pada siswi SMA yang sedang melakukan studi penelitian di museum tersebut.
Editor: Kurniati