PARBOABOA, Pematangsiantar - Jelang Pilkada serentak 2024, wajah kota Pematangsiantar serempak berubah jadi galeri spanduk.
Sejumlah bakal calon wali kota berlomba-lomba memperkenalkan diri dengan spanduk yang membanjiri jalanan dan lorong-lorong kota.
Pepohonan yang harusnya menyejukkan mata, kini dibebani potret ambisius para calon, sehingga menambah limbah visual yang merusak estetika kota.
Spanduk-spanduk yang mereka pasang memang mencerminkan kepercayaan diri untuk membawa perubahan bagi Pematangsiantar.
Namun, ironisnya, mereka tampak mengabaikan atau bahkan melupakan aturan yang melarang pemasangan alat peraga di pohon.
Tak hanya itu, pelanggaran aturan tersebut hanyalah puncak gunung es.
Kreativitas para bakal calon dalam kampanye juga dinilai minim, sehingga pesan yang ingin disampaikan pun terasa kurang berkesan.
Pegiat literasi, Tumpak Winmark Hutabarat, yang akrab dipanggil Siparjalang, menilai bahwa kendala tersebut disebabkan minimnya kreativitas para bakal calon wali kota dalam memperkenalkan diri.
Menurutnya, para calon seharusnya menggunakan cara yang inovatif dan bermartabat untuk memperkenalkan diri, bukan terjebak dalam metode konvensional yang justru mengganggu keindahan kota.
Dengan keterbatasan ruang kota, Tumpak menekankan pentingnya menghargai citra kota dengan tidak memasang spanduk-spanduk di pepohonan. Menurutnya, baliho saja sudah cukup untuk keperluan kampanye.
"Lima pohon berjejer dan semuanya ditempeli spanduk, satu spanduk tidak cukup bagi mereka. Banyaknya jumlah spanduk yang tersebar tampaknya menjadi ukuran seberapa besar upaya mereka untuk meningkatkan popularitas," katanya pada PARBOABOA, Kamis (08/08/2024).
Padahal, menurut Tumpak, di era sekarang banyak cara yang efektif dalam memperkenalkan diri, seperti memanfaatkan media sosial.
Dengan begitu, mereka bisa menjangkau lebih banyak orang, termasuk kalangan tua yang kini juga aktif di platform digital seperti Facebook.
"Tinggal bagaimana para calon memikirkan konten apa yang ingin mereka tampilkan di media sosial untuk menarik perhatian," tambahnya.
Terlebih, pemilih di Pematangsiantar sebagian besar berasal dari kalangan muda yang sudah akrab dengan media sosial.
Oleh karena itu, ia berpendapat akan lebih efektif jika para calon fokus membuat konten-konten yang menggugah dan relevan untuk menarik perhatian.
Tumpak menyarankan para calon mengangkat isu-isu berisiko dan sensitif, karena itu dapat menunjukkan ketegasan dan perhatian mereka pada persoalan. Selain itu, hal serupa berdaya membangun kepercayaan publik.
Ia juga menyoroti bahwa meskipun ada calon yang mengunggah konten di media sosial, sering kali hal tersebut tidak konsisten.
"Video yang diunggah pun tak jelas dalam menyampaikan pesan, sehingga mengkomunikasikan visi dan misi calon kurang efektif," ujarnya.
Tumpak menilai bahwa para calon tampaknya enggan menggunakan jasa profesional, seperti ahli fotografi, videografi atau desainer yang ada di kota Pematangsiantar.
Ia melihat, masih ada anggapan bahwa hal-hal tersebut tidak penting atau bisa dikerjakan secara murah tanpa perlu dihargai secara serius.
Padahal menurutnya, Pematangsiantar memiliki banyak talenta yang mampu membentuk tim kreatif dan tim produksi berkualitas.
"Tim kreatif ini bisa merancang konsep yang tepat, apakah itu video sinematik, video biasa atau foto yang bercerita," jelasnya.
Terkait masalah ini, Tumpak menyarankan agar para bakal calon seharusnya memanfaatkan jasa-jasa kreatif lokal.
Selain meningkatkan produktivitas, hal itu juga mendukung industri kreatif di Pematangsiantar.
Tumpak melihat banyak calon langsung mendesain dari percetakan, padahal desain seharusnya dirancang dan dikonsep terlebih dahulu sebelum dicetak.
Proses desain perlu mempertimbangkan berbagai elemen, termasuk semiotika seperti simbol dan warna yang mencerminkan identitas calon walikota.
"Setelah desain matang, barulah dapat diterjemahkan ke dalam bentuk iklan di media sosial," sambungnya.
Ia menjelaskan, tim kreatif bisa saja hanya terdiri dari delapan orang, dan investasi yang diperlukan tidak akan mencapai miliaran.
Meskipun demikian, tim tersebut bisa menghasilkan konten yang jauh lebih profesional dan menarik.
Jika satu bakal calon wali kota mempekerjakan tim delapan orang dan ada tiga calon yang melakukan hal sama, berarti ada tiga puluh dua orang yang terlibat.
"Ini bukan hanya soal kualitas kampanye, tetapi juga menciptakan peluang pekerjaan bagi tiga puluh dua keluarga yang mendapatkan penghasilan," jelasnya.
Menurut Tumpak, investasi tersebut tidak hanya produktif tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat lokal.
Baginya, para calon perlu merangkul orang-orang berjiwa seni agar industri kreatif di Pematangsiantar terus tumbuh dan berkembang.
"Meski mereka belum yakin akan terpilih, setidaknya mereka sudah menawarkan sesuatu yang bernilai dan berbuat sesuatu yang nyata," ujarnya.
Tumpak menilai ketidakmampuan para calon pemimpin untuk menghadirkan ide-ide segar menunjukkan kurangnya pemahaman mereka terhadap dinamika zaman.
Dari masalah ini, ia menyimpulkan bahwa kurangnya kreativitas para bakal calon mencerminkan minimnya literasi.
Bahkan, ia juga pesimis dalam lima tahun ke depan, belum akan ada calon yang mampu mengambil langkah tersebut.
Model Pendekatan Lain
Terpisah, pengamat politik Dadang Darmawan Pasaribu, menjelaskan tiga istilah penting dalam dunia politik, yakni popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas.
"Istilah-istilah ini secara sederhana merujuk pada seberapa dikenal, disukai dan dipilihnya seorang calon," katanya pada Parboaboa, Selasa (13/08/2024).
Dosen FISIP USU ini mengatakan alat peraga seperti spanduk atau baliho memang dapat meningkatkan popularitas calon.
Akan tetapi, jelas Dadang, alat peraga saja tidak cukup untuk menjamin penerimaan atau keterpilihan seorang calon.
Ada banyak faktor yang berperan dalam proses tersebut, dan alat peraga hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan yang diperlukan.
Untuk meningkatkan elektabilitas, ia menyarankan agar para calon melakukan pendekatan yang lebih efektif, seperti memanfaatkan media sosial untuk menjangkau pemilih secara lebih luas.
Selain itu, yang terpenting adalah calon harus aktif bersosialisasi dengan masyarakat dan menunjukkan tindakan nyata.
Mereka perlu membentuk tim yang bisa memperkenalkan diri secara langsung serta menawarkan solusi untuk masalah yang muncul di tengah masyarakat.
"Contohnya, jika ada warga yang kesulitan melanjutkan pendidikan, calon bisa memberikan informasi peluang beasiswa. Atau jika ada yang kesulitan mengakses KTP atau KK, calon bisa membantu memfasilitasi proses tersebut," tuturnya.
Dengan cara ini, terang Dadang, calon tak hanya berteori, tetapi juga menunjukkan komitmen melalui tindakan nyata di lapangan.