Kala Pakaian Impor Bekas Bermerek Jadi Alternatif Anak Muda Bergaya dengan Modal Cekak

Rizky Awaluddin mengenakan pakaian bekas impor bermerek Adidas. (Foto: Dok. Pribadi/Rizky Awaluddin).

PARBOABOA  - Rizky Awaluddin, 28, sudah mulai mengenal thrifting sejak tahun 2012 dari teman-temannya. Ketika itu dia masih sekolah di salah satu SMK dan sedang menjalani praktik kerja lapangan (PKL) di Jakarta dan sering teman-temannya pulang dengan membawa baju-baju bekas yang bagus dan bermerek.

Ditemani seorang temannya dia tertarik pergi ke Pasar Senen, Jakarta Pusat dan membeli baju bekas untuk pertama kalinya. Sejak itu dia mulai terbiasa dengan pakaian bekas, dan ketika dia bekerja dia semakin sering mengunjungi tempat-tempat belanja pakaian bekas.

“Dulu belum ada kata thrifting ya, pokoknya gua cuma nyari baju bekas yang branded gitu,”kata Rizky yang ditemui Parboaboa, pekan lalu.

Setelah lulus sekolah dan bekerja dia semakin sering belanja pakaian bekas, setidaknya sekali dalam sepekan. Barang bekas yang dibelinya variatif, seperti celana, kaos, topi, jaket, hingga sepatu, dengan harga yang relatif lebih murah.

Cepek (Rp100 ribu) bisa dapat topi, celana dua, gua pernah dapat Rp150 ribu: celana dua, kaos dua, terus topi caping,” katanya.

Hingga tahun-tahun berikutnya, di Jakarta tren thrifting terus meluas, terutama di kalangan anak muda, dan semakin banyak pula lapaknya. Jika dulu dijual hanya di tempat-tempat tertentu saja, belakangan semakin banyak lokasi untuk belanja pakaian bekas, mulai dari Pasar Senen, Pasar Baru, Blok M, hingga Jatinegara. Bahkan, belakangan pemasarannya berkembang sampai ke lapak online (e-commerce).

Selain Rizky, penggemar thrifting lainnya, Hafidz Bachtiar, 26, mengaku sudah mengenal thrifting sejak tahun 2000-an. Namun, saat itu istilahnya bukanlah thrifting. Dia sendiri sudah mulai belanja barang-barang bekas sejak tahun 2010-an.

Anak muda Jakarta lainnya, Zeinal Wujud, 26, juga mengaku sudah mengenal thrifting sejak tahun 2011, namun saat itu belum banyak yang tahu. “Kalau tren sih nggak tahu tepatnya. Tapi zaman gua SMA, thrifting masih banyak yang nggak tahu," terang Zeinal.

Menurut dia, tren thrifting kembali menjadi sangat booming pada pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Ketika itu banyak anak muda yang melirik thrifting sebagai alternatif untuk bergaya dengan modal cekak. Tak harus mengeluarkan uang jutaan rupiah, mereka pun bisa mengenakan pakaian-pakaian bermerek

Bergaya dengan merek ternama 

Disebut thrifting di Jakarta, atau monza di Kota Medan dan di sejumlah daerah lainnya, merupakan pakaian bekas yang diimpor dari sejumlah negara, Arab Saudi, Inggris, Jepang, Singapura, Prancis dan berbagai negara lainnya.

Kerap disebut sampah, tetapi telah puluhan tahun menjadi barang dagangan karena digemari banyak orang, mulai dari kalangan keluarga kelas menengah ke bawah, menengah, bahkan atas dari berbagai kalangan usia, termasuk anak muda.

Menurut Rizky, yang kini lebih suka belanja thrifting secara online, salah satu alasan dia suka thrifting adalah merk, salah satunya pakaian bermerk Adidas.

“Biasa ngincer pakaian yang belum punya, misal nih udah punya jaket, yaudah berarti yang lain, sepatu nih udah punya, apa nih? Yaudah celana,” katanya

Barang paling mahal yang pernah dibeli Rizky adalah sepatu Adidas seharga Rp400 ribu. Selain itu, ada celana seharga Rp280 ribu. Dengan seharga itu, dia sudah bisa mengenakan pakaian bermerk dengan harga murah meski itu barang bekas.

Apakah dia merasa malu atau minder?

“Nggak minder. Kalau minder ngapain dibeli. Ya, kalau lu nyesel ngapain dipakai? Ngapain dibeli?,” katanya.

Bahkan, dia mengaku terbantu dengan adanya thrifting. Ia jadi bisa menghemat uang belanja. “Ngebantu sih ngebantu.”

Haruskah dilarang?

Di kalangan anak muda ibukota, pakaian bekas telah menjadi alternatif di tengah tren pakaian yang terus berkembang. Tetapi, eksistensi anak-anak muda yang ingin tetap bergaya dengan biaya murah tampaknya akan segera berakhir setelah pemerintah mengeluarkan larangan impor dan jual-beli barang bekas.

Pada Maret 2023, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa impor barang bekas merupakan aktivitas perdagangan ilegal, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor dan Undang-Undangnya adalah Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan.

Tetapi, menurut Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Yuanita Aprilandini Siregar, larangan itu memunculkan situasi yang dilematis. Di satu sisi masyarakat membutuhkannya sebagai alternatif fashion murah, tapi di sisi lain dianggap mengancam industri tekstil lokal. Dia berpendapat agar pemerintah juga memahami dilema itu.

“Ini kan juga merepresentasikan gaya hidup anak muda, jadi dengan brand tertentu mereka akan dianggap sebagai kelas sosial tertentu, kemudian juga akan diterima di pergaulan tertentu,” terang Yuanita kepada Parboaboa.

Menurutnya, pemerintah tidak seharusnya melarang sepenuhnya pakaian impor bekas, tetapi sebaiknya mengurangi dan menyeleksi jenis pakaiannya.

“Saya setuju kalau diklasifikasikan, misalnya, kalau jas atau jaket untuk musim hujan kan emang nggak ada produsen lokalnya, okelah boleh. Tapi, kalau memang barang yang ada pemain lokalnya itu dipersempit kuotanya, jadi, diatur ya. Karena ini hukum ekonomi, selama pangsa pasar masih ada, daya beli konsumen itu masih tinggi, mau dikasih aturan kayak gini juga gak akan efektif,” tambah Yuanita.

Rizky sendiri turut khawatir dengan larangan menjual barang bekas yang digaungkan pemerintah. Dia mengaku heran mengapa jual-beli barang bekas dilarang pemerintah.

Menurutnya, setiap masyarakat punya selera belanjanya masing-masing. “Mau yang baru tapi dia gak suka gimana? Lebih suka yang bekas tapi dia nyaman gitu pakenya,” tandas Rizky.

“Apakah thrifting dihapus terus UMKM laku? Itu kan nggak tahu, karena mereka punya seleranya masing-masing. Kalau gua tetap pada pendirian sendiri (belanja thrifting),” katanya.

*Laporan ini merupakan bagian pertama dari liputan khusus edisi ‘larangan impor pakaian bekas’.

Reporter: Achmad Rizki Muazam

Editor: Tonggo Simangunsong
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS