PARBOABOA, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, dalam upacara kenegaraan di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin (10/11/2025).
Namun, keputusan ini memicu perdebatan tajam di masyarakat, karena sejarah panjang kepemimpinan Soeharto yang dinilai sarat dengan paradoks—antara pengabdian dan pelanggaran.
Dalam upacara kenegaraan yang digelar dengan khidmat di Istana Negara, Jakarta Pusat, Presiden Prabowo Subianto menyerahkan langsung gelar Pahlawan Nasional kepada keluarga mendiang Presiden Soeharto.
Dua anaknya, Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Rukmana, hadir untuk menerima penghargaan tersebut.
Soeharto menjadi satu dari sepuluh tokoh yang mendapat gelar kehormatan tahun ini. Ia dinilai berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, khususnya di bidang militer.
Narator upacara menyebut bahwa Soeharto pernah menjabat sebagai Wakil Komandan BKR Yogyakarta dan memimpin pelucutan senjata pasukan Jepang di Kota Baru pada tahun 1945.
Kajian Pemerintah
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025 yang ditandatangani pada 6 November 2025. Pemerintah menegaskan bahwa proses ini dilakukan melalui kajian panjang dan seleksi ketat.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan bahwa pemberian gelar didasarkan pada kontribusi besar Soeharto dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional.
“Jasa-jasa beliau konkret dan terbukti membawa pengaruh besar bagi bangsa,” ujar Fadli di Istana Kepresidenan.
Ia juga menyebut bahwa pemerintah telah mengkaji seluruh aspek historis dan hukum sebelum pengukuhan gelar tersebut dilakukan.
Kontribusi Soeharto
Fadli Zon memaparkan sederet kiprah Soeharto di masa perjuangan, mulai dari keterlibatannya dalam Pertempuran Ambarawa, Lima Hari di Semarang, hingga menjadi Komandan Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat.
Salah satu peristiwa paling bersejarah yang dipimpin Soeharto adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang mengukuhkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia.
Tak hanya di bidang militer, Soeharto juga dikenal lewat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), program pembangunan yang disebut-sebut berhasil menurunkan angka kemiskinan dan mengendalikan inflasi yang sempat mencapai 600 persen.
Pada masa pemerintahannya pula, pendidikan nasional diperluas dengan pembangunan ribuan sekolah di berbagai daerah.
Penolakan dari Berbagai Kalangan
Meski pemerintah menilai Soeharto layak menyandang gelar Pahlawan Nasional, reaksi publik tidak sepenuhnya positif. Sejumlah kelompok masyarakat, aktivis HAM, dan akademisi menolak keputusan tersebut.
Mereka menilai bahwa Soeharto memiliki catatan kelam yang tidak bisa dihapus dari sejarah.
Penolakan muncul karena masa kepemimpinannya (1967–1998) identik dengan otoritarianisme, pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman kebebasan pers, dan praktik korupsi yang mengakar.
Banyak pihak juga menilai bahwa langkah ini berpotensi melukai korban pelanggaran HAM masa Orde Baru, seperti tragedi 1965–1966, penculikan aktivis, dan kerusuhan Mei 1998 yang memakan banyak korban sipil.
Menurut pengamat politik, pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan tanpa rekonsiliasi dan pengakuan terhadap korban justru bisa memperlebar jarak antara sejarah resmi dan sejarah rakyat.
Menanggapi kritik tersebut, Fadli Zon menegaskan bahwa berbagai tuduhan terhadap Soeharto tidak pernah terbukti secara hukum.
Ia menyatakan bahwa pemerintah telah memeriksa semua aspek hukum sebelum menetapkan gelar tersebut.
“Semua dugaan sudah melalui proses hukum dan tidak terbukti. Jadi tidak ada alasan untuk menghalangi penghargaan ini,” katanya.
Fadli juga menegaskan bahwa penyelidikan terhadap peristiwa besar, termasuk kerusuhan Mei 1998, telah diselesaikan dan tidak berkaitan langsung dengan Soeharto.
Pemerintah pun berharap masyarakat dapat melihat sisi perjuangan dan jasa-jasa Soeharto sebagai bagian dari sejarah bangsa yang kompleks.
