PARBOABOA, Medan – Peneliti Disabilitas, Hisyam Ikhtiar menilai pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan, Rinaldi soal hanya disabilitas tertentu yang bisa menjadi penyelenggara Pemilu sangat bermasalah dan menyalahi Undang-Undang tentang penyandang disabilitas.
“Pernyataan itu sangat bermasalah, apalagi Rinaldi sebagai Ketua KPU Medan merupakan pejabat publik,” tegasnya saat dihubungi PARBOABOA, Sabtu (12/8/2023).
Hisyam yang juga Manajer Advokasi Yayasan Remisi, organisasi disabilitas ekososial itu mengungkapkan, jenis disabilitas tidak bisa dijadikan acuan dalam penyeleksian tenaga kerja. Termasuk disabilitas tunanetra.
“Jadi pasal yang dilanggar adalah Pasal 2 huruf D UU 8/2016 tentang hak partisipasi penuh dan Pasal 75 ayat 1 yang berbunyi ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin agar Penyandang Disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik secara langsung atau melalui perwakilan’,” jelasnya.
Hisyam melanjutkan, salah satu hak politik penyandang disabilitas juga diatur di Pasal 13 huruf f UU Nomor 8/2016 yang menyebutkan ‘Hak politik untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya’.
“Hal dimaksudkan bahwa penyandang disabilitas ini berhak untuk dipilih, memilih maupun berpartisipasi sebagai penyelenggara,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, ketentuan penyelenggara pemilu juga diatur lewat Pasal 77 huruf I di UU Nomor 8/2016, yang berbunyi 'Menjamin terpenuhinya hak untuk terlibat sebagai penyelenggara dalam pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain'.
"Sehingga pernyataan Komisioner KPU Medan yang mengatakan disabilitas netra susah dilibatkan, saya berpendapat justru KPU Medan yang harus mengakomodasi mereka. Menjadi penyelenggara sepanjang pengetahuan saya diberikan upah, maka dari situ kita bisa bahas hak pekerjaan dari kaum disabilitas," ungkap Hisyam.
Bahkan, Pasal 11 huruf C di undang-undang yang sama menyebutkan, justru penyandang disabilitas juga berhak untuk diberikan akomodasi yang layak dalam pekerjaan.
"Jadi jika mau mengelompokkan disabilitas untuk dapat memberikan akomodasi yang sesuai, barulah pengelompokkan tersebut dibenarkan. Tetapi jika pengelompokan penyandang disabilitas memengaruhi seleksi mereka dalam mencari kesempatan kerja, hal tersebut sudah melanggar hak-hak disabilitas," tegasnya.
Hisyam menambahkan, KPU Medan harusnya menyediakan tempat bagi penyandang disabilitas tunanetra untuk dapat bekerja sebagai penyelenggara pemilu.
“Ya, langkahnya bisa juga dengan memberikan kode braille pada setiap form isian yang nanti digunakan penyelenggara pemilu, jangan malah tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi," imbuhnya.
Penyandang Disabilitas Bisa Minta Pendampingan Hukum
Hisyam Ikhtiar mengingatkan, penyandang disabilitas bisa menempuh berbagai upaya memenuhi hak pekerjaan, apalagi pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait Unit Layanan Disabilitas pada Dinas Ketenagakerjaan yang ada di setiap daerah.
"Pemerintah sudah memiliki Unit Layanan Disabilitas pada Dinas Ketenagakerjaan. Unit Layanan Disabilitas tersebut berperan untuk memberi informasi, melayani, memandu pemberi kerja untuk memberikan akomodasi yang layak. Seperti memandu pemberi pekerja menggunakan tenaga kerja disabilitas mulai dari proses rekrutmen, tahap bekerja, sampai akhir bekerja sesuai dengan jenis disabilitasnya. Namun, sayangnya belum ada penelitian yang meneliti bagaimana implementasi dari Unit Layanan Disabilitas secara praktik,” ujarnya.
Hasil observasi Yayasan Remisi menyebut, birokrasi di Indonesia masih sangat sulit untuk penyandang disabilitas.
"Jangankan kaum disabilitas yang mungkin butuh akomodasi yang lebih jauh atau berkebutuhan khusus, yang non-disabilitas saja secara umum masih sulit untuk mengakses birokrasi di Indonesia ini," ungkap Hisyam.
Ia juga menyarankan kaum disabilitas yang ingin memperjuangkan haknya untuk meminta bantuan atau pendampingan hukum, karena kaum disabilitas ini juga rentan.
Hisyam mencontohkan, ketika ada kontrak kerja yang tidak sesuai atau ada perbuatan yang tidak sesuai dengan kontrak kerja. Kaum disabilitas sangatlah rentan akan kasus-kasus tersebut.
“Pada berita yang diterbitkan PARBOABOA, saya ada membaca kalau KPU Medan datang ke Pertuni hanya untuk meminjam wisma pada Pertuni sebagai tempat pemungutan suara. Jika misalnya terdapat masalah dalam perjanjian permasalahan tersebut saya sarankan agar Pertuni bisa langsung meminta pendampingan hukum untuk membantu mereka,” ujarnya.
Hisyam juga menyarankan Kaum disabilitas dapat mendatangi lembaga bantuan hukum di daerahnya masing-masing untuk dapat membantunya memenuhi hak-haknya.
“Kalau di Medan mungkin kaum disabilitas bisa menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, atau lembaga bantuan hukum lainnya yang ada di Medan untuk mendampingi ketika kasus-kasus tersebut terjadi,” imbuhnya.
Editor: Kurniati