Polemik Pembangunan Vila di Pulau Padar Mencuat, AKM Desak KLHK Cabut Izin Usaha

Aliansi Komodo Memanggil (AKM) desak KLHK cabut izin pembangunan vila di Pulau Padar (Foto: dok. Indonesia Travel).

PARBOABOA, Jakarta - Rencana pembangunan ratusan vila dan fasilitas wisata mewah di Pulau Padar, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT, menimbulkan polemik besar. 

Proyek yang digarap PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) dengan konsesi hingga 55 tahun itu bermaksud mendirikan 619 unit vila, spa, restoran, kapel pernikahan, gym, dan fasilitas pariwisata lainnya.

Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni dalam pernyataannya pada Senin (11/8/2025) lalu menjelaskan bahwa KWE telah mengantongi izin usaha sarana wisata sejak 2014. 

Regulasi memang memperbolehkan pemanfaatan zona tertentu untuk ekowisata, tetapi ia menegaskan akan memastikan kegiatan tersebut tidak merusak habitat komodo (Varanus Komodoensis). 

“Salah satu syaratnya adalah tidak boleh menggunakan beton permanen, melainkan konstruksi knockdown,” ujar Raja Juli di Jakarta usai peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2025. 

Sekretaris Jenderal PSI itu menyebut, hingga kini, pembangunan fisik belum dimulai karena masih menunggu peninjauan UNESCO dan konsultasi publik. Namun, rencana tersebut dianggap menimbulkan ancaman serius. 

Aliansi Komodo Memanggil (AKM) yang merupakan gabungan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan diaspora NTT menyatakan penolakan keras terhadap rencana tersebut. 

"Kami menilai proyek ini merupakan bentuk perampasan ruang hidup masyarakat sekaligus ancaman bagi kelestarian Taman Nasional Komodo (TNK)," ujar Koordinator AKM Doni Parera saat ditemui PARBOABOA di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Penolakan tersebut utamanya dikarenakan oleh alasan bahwa Pulau Padar merupakan kawasan konservasi yang masuk dalam warisan dunia UNESCO dengan nilai universal luar biasa yang wajib dijaga. 

"Sementara alasan kedua karena proyek ini mencerminkan ketidakadilan agraria," tegas Doni yang juga merupakan pegiat sosial di Labuan Bajo. 

Ia menerangkan, dari total luas Pulau Padar 1.400 hektar, KWE menguasai konsesi 274 hektar dengan masa izin hingga 2069, sementara masyarakat lokal hanya mendapat ruang pemukiman sekitar 26 hektar untuk lebih dari 2.000 jiwa.

Selain itu, lanjut Doni, alasan ketiga adalah proyek tersebut disinyalir merupakan hasil korupsi kebijakan. 

"Hal ini dikarenakan proses izin dianggap tidak transparan, minim konsultasi publik, dan lebih berpihak pada kepentingan pemodal besar yang disebut-sebut terhubung dengan pengusaha nasional." 

Doni menyinggung, DPRD Manggarai Barat sendiri sebetulnya telah menentukan sikap penolakan terhadap proyek tersebut karena dinilai bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Namun demikian, ia menyayangkan sikap pemerintah, khususnya KLHK yang hingga kini masih belum mencabut izin usaha di Pulau Padar.

Alasan keempat terkait monopoli bisnis pariwisata. Doni menyebut, sejauh ini, sejumlah perusahaan besar milik Tomy Winata dan Setya Novanto menjadi pemain tunggal dalam proyek ini.

"Dengan modal dan koneksi besar, perusahaan akan menguasai akses utama Pulau Padar, sementara pelaku wisata lokal hanya menjadi penonton dan kehilangan ruang hidupnya," pungkasnya.

Sejalan, Komite Warisan Dunia UNESCO dalam sidang ke-47 di Paris, Juli 2025, telah memberikan catatan serius atas rencana pembangunan ini. 

UNESCO meminta Indonesia memastikan model wisata yang diterapkan benar-benar berkelanjutan serta selaras dengan evaluasi IUCN yang menyoroti status komodo sebagai spesies terancam punah.

Risiko yang Mengintai

AKM menerangkan, jika pembangunan pusat bisnis di Pulau Padar tetap dilanjutkan, sejumlah risiko diperkirakan akan muncul. 

Risiko-risiko tersebut, antara lain, kerusakan habitat komodo akibat aktivitas konstruksi dan polusi dan hilangnya lanskap alami Pulau Padar yang menjadi daya tarik wisata. 

Selain itu, AKM menilai model pembangunan yang masif menyebabkan ketidakadilan sosial-ekonomi yang semakin meminggirkan masyarakat lokal dan ancaman hilangnya status Warisan Dunia UNESCO.

Ekosistem TN Komodo sendiri dikenal sangat rapuh. Selain komodo, kawasan ini menjadi rumah bagi terumbu karang, ikan tropis, dan beragam satwa endemik. 

Aktivitas pembangunan berskala besar dapat menimbulkan degradasi permanen apabila tidak dikelola dengan ketat.

Berdasarkan temuan tersebut, AKM mendesak pemerintah segera mencabut izin pembangunan vila, mengevaluasi ulang seluruh izin dan zonasi TN Komodo dan mengakui hak agraria masyarakat lokal. 

"Kami juga meminta pemerintah membuka akses penuh terhadap dokumen Amdal, serta menghentikan monopoli bisnis pariwisata yang merugikan masyarakat," tegas Doni. 

Hal ini, ujarnya, bermaksud menjunjung tinggi model pengelolaan pariwisata yang adil, berbasis komunitas, ramah lingkungan dan memberi dampak bagi masyarakat dan keberlanjutan hidup komodo sebagai warisan dunia.

Kongsi Tomy Winata & Setnov

Keberadaan PT KWE sebagai investor utama pembangunan di Pulau Padar tidak terlepas dari sosok pebisnis besar Tomy Winata dan mantan politisi Setya Novanto dari Partai Golkar.

Tomy sendiri adalah pengusaha keturunan Tionghoa yang merupakan pemilik Grup Artha Graha atau Artha Graha Network. Usahanya diketahui bergerak di bidang perbankan, properti dan infrastruktur. 

Dalam Dokumen Akta PT KWE tahun 2023 disebutkan bahwa kepemilikan perusahaan kini berpindah dominasi ke jaringan bisnis milik Tomy Winata, salah satunya PT Adhiniaga Kreasinusa.

Perusahaan ini merupakan anak usaha Artha Graha yang tercatat sebagai pemegang saham mayoritas. Dalam akta Nomor AHU-0028175.AH.01.02.TAHUN 2023, PT Adhiniaga Kreasinusa memiliki 5.835 lembar saham senilai Rp 5,835 miliar.

Sementara itu, saham minoritas dipegang PT Agrotekno Nusantara dan PT Prima Mandiri Logistic, masing-masing 1.250 lembar saham.

Dengan struktur ini, kendali strategis KWE praktis berada di tangan Tomy Winata. Artinya, arah bisnis Pulau Padar sangat ditentukan oleh konglomerat yang sudah lama dikenal dekat dengan lingkar kekuasaan.

Selain Tomy, nama Novanto selaku mantan politisi Partai Golkar juga kerap muncul sebagai tandem bisnis di Pulau Padar. 

Sosok yang pernah terjerat kasus korupsi proyek e-KTP 2011–2012 ini disebut terlibat dalam proyek di Pulau Padar lewat keluarga dan kroninya. Salah seorang anaknya, Rheza Herwindo Novanto, diketahui menjadi Komisaris Utama PT KWE. 

Selain itu, Gavriel Putranto Novanto, yang juga merupakan anak Novanto terhubung dengan perusahaan-perusahaan yang punya relasi dengan KWE. Gavriel kini terpilih sebagai DPR dari dapil NTT 2.

Selain kedua anaknya, pemilik PT Agrotekno Nusantara dan PT Prima Mandiri Logistic, dua pemegang saham minoritas KWE, disebut dekat dengan jaringan bisnis-politik Novanto.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS