PP Tunas Tegaskan Komitmen Negara Lindungi Anak dari Ancaman Digital

PP Tunas Menekankan Pentingnya Perlindungan Anak Dari Ancaman Digital. (Foto: Unsplash)

PARBOABOA, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah mengenai Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

Peraturan ini merupakan salah satu inisiatif Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang disahkan Prabowo pada Jumat (28/03/2025) di Istana Kepresidenan. 

Menteri Komdigi, Meutia Hafid dalam konferensi pers selepas acara peluncuran menerangkan bahwa pengesahan PP Tunas bertujuan untuk menciptakan ruang digital yang aman bagi anak.

“PP ini bukan memberi sanksi kepada orang tua ataupun anak, melainkan sanksi kepada para platform,” ujar Meutia.

Dalam PP tersebut, terdapat setidaknya lima ketentuan, antara lain mendesak semua platform digital untuk mengutamakan perlindungan anak di atas segala bentuk kepentingan komersial.

Platform-platform tersebut mencakup berbagai layanan digital, seperti media sosial, gim daring, serta beragam platform digital lainnya.

“Ini ranahnya pada semua PSE, penyelenggara sistem elektronik. Kemudian, sanksinya berupa sanksi administratif, mulai dari teguran sampai ke penutupan kalau memang fatal,” terang Meutia. 

Ketentuan lain menegaskan larangan keras bagi platform digital untuk melakukan pemetaan atau profiling terhadap data anak untuk tujuan apapun.

Meutia juga menjelaskan bahwa dalam regulasi yang baru, terdapat ketentuan terkait pembatasan usia serta pengawasan ketat dari platform digital terhadap proses pembuatan akun. 

Platform digital juga dilarang memperlakukan anak-anak sebagai komoditas. Karena itu, terdapat sanksi tegas bagi yang melanggar aturan tersebut.

Mengenai pembatasan usia untuk akses media sosial, Meutya menjelaskan bahwa ketentuan ini dirancang dengan mempertimbangkan proses tumbuh kembang serta potensi risiko dari penggunaan platform.

“Kalau ada platform yang dianggap berisiko rendah, maka pada tumbuh kembang anak di usia 13 tahun, dianggap sudah bisa untuk melakukan akses mandiri," papar Mantan Ketua Komisi I DPR RI itu. 

Sementara itu, "untuk risiko kecil sampai dengan sedang itu di usia 16 tahun, anak sudah bisa membuat (akun) mandiri."

Meutia menambahkan bahwa meskipun anak usia 16 tahun dapat membuat akun digital secara mandiri, mereka tetap perlu mendapat pengawasan dan pendampingan dari orang tua. 

Sementara itu, anak berusia 18 tahun diperbolehkan mengakses dan menggunakan platform digital sepenuhnya secara mandiri.

“(Usia) anak itu sesuai undang-undang di Indonesia adalah sampai 18 tahun. Namun demikian, apakah 18 tahun baru akan diberikan akses? Nah, kami tidak menerapkan pukul rata, karena yang diperhatikan tim kami adalah melihat tumbuh kembang anak,” jelasnya.

Darurat Keamanan Digital 

Data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) mengungkapkan bahwa dalam empat tahun terakhir, terdapat 5.566.015 kasus pornografi anak yang berasal dari Indonesia. 

Jumlah tersebut menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia dan kedua di kawasan ASEAN sebagai negara dengan jumlah kasus terbanyak. 

Angka ini tidak hanya menunjukkan maraknya eksploitasi seksual terhadap anak, tetapi juga memperlihatkan lemahnya sistem perlindungan digital yang seharusnya menjaga ruang aman bagi generasi muda.

Ancaman terhadap anak di ruang digital tidak hanya datang dari konten pornografi, tetapi juga dari maraknya perundungan daring. 

Sebanyak 48 persen anak-anak Indonesia tercatat pernah mengalami perundungan secara online. Fenomena ini sering kali terjadi di media sosial, aplikasi pesan instan, hingga platform permainan daring. 

Sayangnya, banyak korban yang memilih bungkam karena takut atau merasa tidak punya tempat yang aman untuk mengadu. 

Hal ini memperlihatkan bahwa perundungan daring bukan hanya sekadar masalah etika, melainkan juga persoalan perlindungan mental dan emosional anak yang mendesak untuk ditangani.

Lebih jauh, sebanyak 80.000 anak Indonesia yang masih berusia di bawah 10 tahun diketahui telah terpapar judi online (judol). 

Anak-anak yang belum memahami risiko dan dampak dari perjudian mudah terjebak dalam praktik-praktik tersebut, yang pada akhirnya bisa merusak karakter dan membentuk kecanduan sejak dini. 

Kondisi ini kian memperjelas fakta bahwa ekosistem digital di Indonesia belum ramah terhadap anak, bahkan justru berpotensi membahayakan mereka secara langsung.

Kurangnya kesadaran dari penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk secara aktif melindungi anak dari konten dan interaksi berbahaya di ruang digital semakin memperparah keadaan. 

Di sisi lain, masih banyak orang tua yang belum cukup literat secara digital untuk mendampingi anak-anak mereka dengan baik saat menjelajahi internet. 

Pengesahan PP Tunas dan keterlibatan publik dalam memantau akses digital, dengan demikian diharapkan dapat menjadi solusi strategis untuk mengurangi persoalan-persoalan serupa di masa depan.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS