PARBOABOA, Jakarta – Simbol kemajuan digital Indonesia diresmikan, dibangun oleh tangan anak bangsa, dipimpin oleh sosok visioner Otto Toto Sugiri.
Diketahui, pada Rabu, 3 Juni 2025, sejarah baru dunia digital Indonesia tercipta. Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya Viada Hafid, meresmikan JK6, pusat data berstandar global milik PT DCI Indonesia Tbk yang berlokasi di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat.
Dengan kapasitas raksasa 36 megawatt dan dibangun oleh lebih dari 8.000 tenaga kerja, JK6 kini menjadi salah satu pusat data terbesar di Asia Tenggara.
“Pusat data ini bukan sekadar infrastruktur, tapi hasil dari semangat kolektif nasional,” ujar Meutya lewat unggahan di Instagram resminya, Sabtu (6/6/2025).
Meutya menegaskan, pembangunan JK6 merupakan bagian dari strategi besar transformasi digital Indonesia.
Pusat data seperti ini akan menjadi tulang punggung dalam menyimpan, mengolah, dan menyalurkan data lintas sektor, mulai dari layanan publik, industri strategis, hingga kecerdasan buatan.
Empat pilar transformasi digital pun menjadi landasan: penguatan infrastruktur dan spektrum, pengembangan talenta digital, penyediaan perangkat dan aplikasi, serta kebijakan adaptif.
Dalam kerangka ini, JK6 hadir sebagai simpul penting yang menjamin keamanan dan efisiensi data nasional.
Merujuk laporan GSMA tahun 2024, digitalisasi sektor strategis di Indonesia diprediksi menyumbang hingga Rp1.271 triliun pada 2029.
Data menjadi komoditas penting dan pusat data menjadi garda terdepan penyimpanan dan pengelolaannya.
KPMG juga mencatat, konsumsi pusat data global akan melonjak dari 90 gigawatt tahun ini menjadi 180 gigawatt di 2030.
Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan kapasitas sebesar 66 persen dalam dua tahun terakhir, menjadikannya sebagai magnet digital Asia Pasifik.
“Pertumbuhan ini sinyal kuat bahwa pasar digital Indonesia berkembang sangat pesat,” kata Meutya.
Sementara Otto Toto Sugiri, Komisaris Utama PT DCI Indonesia Tbk., menegaskan pentingnya pusat data dalam perekonomian digital.
Dari 280 juta penduduk, 220 juta sudah terhubung ke internet, mulai dari transaksi, komunikasi, hingga sistem vital perusahaan. Semua kini bergantung pada pusat data.
“Pasar pusat data nasional masih sangat potensial—baru 300 megawatt saat ini,” ungkap Toto, yang juga masuk dalam lima besar orang terkaya Indonesia versi Forbes.
Siapa Toto Sugiri?
Nama Otto Toto Sugiri bukanlah sosok asing di jagat teknologi Indonesia. Dilahirkan di Bandung pada 23 September 1953, Toto—begitu ia akrab disapa—adalah seorang lulusan Teknik ITB tahun 1977 yang telah mengabdikan hidupnya pada dunia IT sejak akhir 1980-an.
Ia dikenal sebagai salah satu pionir dalam industri data center Indonesia, dengan visi besar mengangkat infrastruktur digital tanah air ke level global.
Perjalanan bisnis Toto bermula dengan mendirikan Sigma Cipta Caraka, perusahaan yang fokus pada pengembangan perangkat lunak untuk sektor bisnis, terutama perbankan.
Di tengah kiprahnya di Sigma, ia tak ragu melangkah lebih jauh: mendirikan Indonet pada 1995, layanan internet komersial pertama di Indonesia.
Langkah berani ini bukan hanya membuka gerbang dunia maya bagi publik Indonesia, tetapi juga menjadi pijakan kuat dalam transformasi digital nasional.
Kesuksesan Indonet bahkan membawanya melantai di bursa dengan kode EDGE, sebelum akhirnya diakuisisi oleh Digital Edge Limited dari Hong Kong—transaksi yang membuat Toto mengantongi hampir Rp 1 triliun.
Tahun 2007 menjadi momen penting: Toto memutuskan melepas Sigma kepada Telkom Indonesia, yang saat itu ingin mengembangkan sektor teknologi lokal melalui BUMN. Sigma kemudian bermetamorfosis menjadi Telkom Sigma.
Keputusan Toto bukan semata langkah bisnis, tapi juga bentuk dukungannya terhadap komitmen pemerintah dalam membangun industri digital nasional yang tangguh.
Setelah menjual Sigma, Toto tak berhenti. Dengan suntikan modal senilai US$ 200 juta, ia mendirikan DCI Indonesia, pusat data tier 4 pertama di Indonesia—dan kini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
DCI menjadi bukti ketajaman visi bisnis Toto, hingga akhirnya sahamnya diakuisisi oleh Anthony Salim, menjadikan Toto resmi bergelar miliarder.
Dalam prospektus IPO DCII, Toto disebut sebagai figur sentral di industri ini. Ia menjabat Direktur Utama sejak 2016, setelah sebelumnya bergabung sebagai komisaris sejak 2012.
Gelar masternya dalam teknik komputer dari RWTH Aachen, Jerman (1980), memperkuat pondasi keilmuan di balik setiap langkah bisnisnya.
Toto Sugiri kembali mencatat sejarah saat mendirikan Indointernet pada 1994. Melalui perusahaan inilah masyarakat Indonesia pertama kali mencicipi akses internet.
Saat ini, perusahaan tersebut telah berubah menjadi PT Indointernet Tbk, di mana Toto menjabat sebagai Presiden Komisaris sejak 2012.
Komitmennya dalam membina perusahaan ini hingga sekarang memperlihatkan konsistensinya terhadap kemajuan industri digital tanah air.
Inovasi Toto tak berhenti di internet. Ia juga melahirkan Balicamp, anak usaha Sigma yang menjadi pelopor pengembangan teknologi bahasa di Indonesia.
Proyek unggulannya—membuat sistem pemeriksaan ejaan bahasa Indonesia untuk Microsoft—menjadi kontribusi penting Indonesia di panggung global.
Namun, tragedi bom Bali 2002 menghantam keras. Keamanan yang memburuk memaksa Balicamp menghentikan operasionalnya.
Ini menjadi salah satu titik terberat dalam karier Toto, sekaligus cermin tantangan tak terduga dalam dunia bisnis.
Dampak tragedi Bali ternyata tidak berhenti di Balicamp. Toto menghadapi tekanan finansial yang mendorongnya untuk melepas 80% saham Sigma kepada Telkom Indonesia pada tahun 2008 dengan nilai US$ 35 juta.
Meski sulit, keputusan ini membuka peluang baru bagi Sigma untuk tumbuh di bawah BUMN, sekaligus menunjukkan kecermatan Toto dalam melihat potensi kolaborasi antara swasta dan negara.