DPR Desak Pemerintah Perkuat Sistem Deteksi Dini Kasus Radioaktif Cs-137

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronik (ILMATE) Kemenperin Setia Diarta (kiri) saat memberikan penjelasan soal kasus radioaktif dalam RDP bersama Komisi VII DPR RI (Foto: Tangkapan Layar TV Parlemen).

PARBOABOA, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyoroti lemahnya sistem pengawasan pemerintah dalam mendeteksi paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) yang sempat menghebohkan publik. 

Komisi VII DPR RI menilai kasus tersebut baru terungkap setelah terdeteksi oleh Amerika Serikat (AS), sehingga menandakan adanya celah serius dalam sistem pemantauan nasional.

Wakil Ketua Komisi VII DPR, Evita Nursanty, menilai peristiwa tersebut menjadi bukti nyata bahwa sistem pengawasan nasional terhadap bahan radioaktif masih memiliki celah besar. 

Dalam RDP bersama Dirjen KPAII dan Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ia menekankan pentingnya deteksi dini untuk mengidentifikasi potensi paparan sebelum terdeteksi pihak asing.

“Ini kita kalau nggak karena dideteksi sama Amerika, kita juga nggak tau. Harusnya kan deteksi dininya sudah ada,” ujar Evita, mengutip siaran langsung di TV Parlemen, Senin (10/11/2025).

Menurut Evita, kondisi ini mengindikasikan perlunya perbaikan menyeluruh terhadap sistem pengawasan pemerintah. Ia menegaskan pembenahan tersebut harus segera dilakukan agar kejadian serupa tidak kembali terulang.

“Jadi itu kan berarti ada sistem yang harus diperbaiki,” tambahnya.

Dalam RDP tersebut, Komisi VII DPR meminta data tertulis mengenai industri yang terpapar Cs-137. Dokumen tersebut mencakup dampak yang timbul, model penanganan yang telah dilakukan, tanggung jawab pihak swasta, status pelaporan internasional, serta langkah konkret lanjutan.

DPR juga merekomendasikan agar pemerintah segera membangun sistem deteksi dini yang terintegrasi dan bisa diakses secara real-time di seluruh sektor industri, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan limbah berpotensi radioaktif.

Evita menegaskan, sistem seperti ini sangat penting agar pemerintah dapat memantau potensi paparan radioaktif secara cepat dan menyeluruh di berbagai daerah.

Perdebatan Soal Penerapan Bertahap

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Setia Diarta, mengusulkan agar sistem deteksi dini diterapkan secara bertahap, dimulai dari industri baja yang dinilai paling berisiko. 

Usulan ini muncul dengan pertimbangan agar pelaku industri kecil dan menengah (IKM) memiliki waktu untuk beradaptasi.

Namun, Ketua Komisi VII DPR, Saleh Partaonan Daulay, mengingatkan bahwa pendekatan bertahap sering kali berujung pada penundaan implementasi. 

“Saya sebenarnya setuju saja usulan pak Dirjen. Cuma kadang-kadang kalau kita ubah secara bertahap ini, nggak jadi-jadi ini. Selalu begitu kan?” katanya.

Ia menilai, urusan radiasi bukan hal yang bisa ditunda karena dampaknya dapat mengancam keselamatan tanpa gejala yang langsung terlihat.

“Kalau saya sih nggak ada masalah ‘secara bertahap’, tapi soal radiasi dan macam-macam ini penting sekali, nggak kelihatan tapi terasa,” ujarnya.

Evita menengahi perdebatan tersebut dengan menekankan bahwa DPR tetap mendukung perlindungan terhadap IKM, tetapi percepatan penerapan sistem deteksi tetap harus menjadi prioritas. 

Setelah diskusi, rapat menyepakati bahwa penerapan sistem deteksi akan dilakukan secara bertahap dengan alasan memberikan waktu adaptasi bagi sektor IKM tanpa mengurangi urgensi pelaksanaannya.

Penguatan Regulasi

Selain memperkuat sistem deteksi dini, Komisi VII DPR juga mendorong pemerintah melakukan pelacakan terhadap pergerakan dan sebaran radiasi Cs-137 di dalam negeri. Langkah ini dianggap penting untuk melindungi masyarakat dari potensi paparan lanjutan.

Namun, Kemenperin mengakui keterbatasan dalam melakukan pelacakan karena kewenangan dan peralatan teknis berada di bawah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). 

DPR pun menilai perlunya koordinasi antarlembaga dan pengadaan alat deteksi tambahan agar sistem pemantauan lebih efektif.

Komisi VII turut merekomendasikan penyusunan kebijakan baru yang memperkuat regulasi pelaporan berkala, pengelolaan limbah industri, serta perdagangan logam bekas (metal scrap). 

Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan bahan radioaktif, termasuk produk ekspor dan impor yang berpotensi terpapar.

Selain itu, DPR juga meminta agar pemeriksaan terhadap barang dan individu yang keluar masuk kawasan industri diperketat, serta peran Satgas Cs-137 dioptimalkan dengan melibatkan pihak swasta.

Dalam rapat yang sama, Komisi VII menyoroti temuan dugaan paparan Cs-137 pada produk udang yang diekspor ke Amerika Serikat. 

Evita meminta Satgas Penanganan Radiasi Radionuklida Cs-137 menelusuri apakah sebagian dari produk yang ditolak tersebut dijual di pasar domestik.

Ia mengingatkan bahwa keselamatan masyarakat Indonesia harus menjadi prioritas utama, bukan hanya untuk menjaga citra ekspor di luar negeri. 

Menurutnya, pemerintah perlu memastikan produk yang ditolak ekspor tidak beredar di dalam negeri, karena hal tersebut dapat membahayakan konsumen tanpa mereka sadari.

Evita menegaskan pentingnya koordinasi lintas lembaga agar setiap kasus paparan radioaktif, sekecil apa pun, dapat segera ditangani dan tidak menimbulkan kepanikan publik.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS