RUU Perampasan Aset: Senjata Lawan Korupsi yang Sudah 20 Tahun Mandek

Presiden RI, Prabowo Subianto Saat Demo Hari Buruh. (Foto: Dok. Tempo)

PARBOABOA, Jakarta - Desakan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset segera disahkan semakin menguat. 

Banyak pihak menilai, RUU ini bisa menjadi salah satu senjata paling ampuh dalam upaya memberantas korupsi. 

Paling tidak, dengan aturan tersebut, negara memiliki kewenangan untuk menyita harta yang asal-usulnya tak bisa dibuktikan, bahkan tanpa harus menunggu vonis pengadilan.

Hal ini juga cukup beralasan karena proses pembuktian hukum yang rumit sering kali menjadi penghalang dalam memerangi korupsi. Itulah sebabnya, kehadiran UU baru dinilai penting untuk menutup celah hukum yang kerap dimanfaatkan oleh para pelaku korupsi.

Presiden Prabowo Subianto sendiri memang telah beberapa kali menyatakan komitmennya untuk mendorong agar RUU perampasan aset segera menjadi undang-undang.

Dalam peringatan Hari Buruh Internasional di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025), ia kembali menegaskan dukungannya. Di hadapan ratusan ribu buruh yang memadati kawasan Monas, ketua umum partai gerindra itu menyuarakan pentingnya melawan korupsi secara tegas.

“Saudara-saudara, demi mendukung perjuangan melawan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Saya dukung!” teriaknya penuh semangat dari atas panggung.

Ia juga mengajak massa buruh yang hadir untuk terus melanjutkan perjuangan bersama. 

“Bagaimana? Kita teruskan perlawanan terhadap koruptor?” serunya, yang langsung disambut dengan pekikan setuju dari seluruh penjuru lapangan.

Kendati demikian, Prabowo diingatkan agar tidak berhenti pada wacana, karena pernyataan dalam bentuk dukungan belumlah cukup.

Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah konkret, terutama mendorong partai politik dan DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU tersebut.

"Jangan cuma komitmen terus, ini bukan masa kampanye lagi," kata peneliti ICW, Almas Sjafrina dalam sebuah keterangan resmi belum lama ini.

Apalagi Kata Almas, tekanan dari publik belum cukup kuat untuk membuat pembahasan RUU itu bergerak maju. Di sinilah peran Presiden menjadi sangat penting, lebih -lebih Prabowo juga merupakan ketua umum partai, yang posisinya cukup strategis untuk mendorong proses legislasi.

"Kalau memang serius, Presiden harus turun tangan langsung dan mendorong partai-partai serta DPR agar segera membahas RUU ini,” ujarnya.

Ia menegaskan, dukungan politik dari seorang kepala negara seharusnya mampu jadi motor utama, terutama karena RUU ini sudah terlalu lama mandek.

"Harusnya, kalau presidennya turun langsung, punya pengaruh besar, didukung banyak partai, bahkan memimpin partai, RUU ini bisa cepat dibahas,” tegasnya lagi.

Urgensi RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset jadi sorotan karena dinilai penting bukan cuma untuk membasmi korupsi, tapi juga untuk memperkuat perang melawan kejahatan ekonomi secara keseluruhan.

Hal itu pernah disampaikan oleh Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Ganarsih.

Menurutnya, RUU ini juga bisa digunakan untuk menyasar pelaku kejahatan lain, seperti pengedar narkoba, atau orang-orang dengan kekayaan tak wajar yang sulit dibuktikan asal-usulnya, seperti dalam kasus Rafael Alun.

Intinya, kata dia, RUU Perampasan Aset menekankan soal pemulihan aset atau asset recovery. Jadi, semua kekayaan yang diduga berasal dari tindak kejahatan bisa ditelusuri dan disita, asalkan ada cukup indikasi. 

Dengan begitu, proses hukum tidak akan berhenti hanya karena pelakunya kabur atau meninggal dunia. "Selama ada aset mencurigakan, negara tetap bisa bertindak," katanya.

RUU Perampsan Aset juga akan mengatur proses dari awal, mulai dari pelacakan, penyitaan, pemblokiran, hingga pengelolaan aset yang telah dirampas. Hal ini, kata Yenti menjadi pelengkap sekaligus perbaikan atas celah yang belum tercakup dalam Undang-undang Tipikor maupun TPPU.

Dalam praktik saat ini, Undang-undang Tipikor memang mengenal konsep uang pengganti, namun mekanismenya belum efektif untuk memastikan aset benar-benar kembali ke negara. 

Jika uang pengganti tidak dibayar, sanksinya hanya berupa tambahan hukuman penjara. Artinya, negara tetap tidak mendapatkan kembali aset yang telah dikorupsi. Sementara dalam UU TPPU, proses perampasan aset juga belum disertai dengan sistem pemulihan atau pengelolaan yang jelas.

Yenti menyebut, Kasus-kasus seperti Indosurya menjadi contoh nyata bagaimana aset yang telah dirampas justru tidak dimanfaatkan secara maksimal. Banyak aset tidak dikelola, nilainya turun, bahkan hilang tanpa kejelasan. Hal inilah yang ingin diperbaiki melalui RUU Perampasan Aset.

Ia menambahkan, RUU Perampasan Aset memberikan landasan hukum agar setiap aset yang diduga berasal dari tindak kejahatan dapat diawasi dan dikelola secara profesional. 

Aset yang berbentuk bisnis aktif, misalnya seperti hotel atau pabrik tidak akan langsung ditutup, tetapi tetap dijalankan oleh negara dengan pengawasan ketat. Tujuannya agar aset tetap produktif dan tidak merugikan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari usaha tersebut.

Sementara itu, Peneliti ICW, Lalola Easter mengatakan  upaya membongkar asal-usul kekayaan mencurigakan sering kali terhambat karena harus membuktikan terlebih dulu kejahatan yang dilakukan pemiliknya.

Padahal, dalam banyak kasus, pembuktian itu sangat sulit. Karena itu, jika RUU ini disahkan, penegak hukum bisa langsung fokus pada kejanggalan hartanya, "bukan lagi harus menunggu ada vonis bersalah lebih dulu."

Lalola juga menyebut RUU Perampasan Aset bisa membawa masuk norma illicit enrichment ke dalam hukum Indonesia. Norma ini sebenarnya sudah diakui secara internasional lewat Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), tapi belum diatur dalam undang-undang kita. 

Padahal, konsep ini penting agar negara bisa bertindak jika ada orang dengan kekayaan luar biasa yang tidak bisa dijelaskan secara logis dari penghasilan resminya.

Untuk diketahui, selama ini, perampasan aset hanya bisa dilakukan kalau pelaku terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau pencucian uang. Prosesnya panjang dan sering kali buntu. 

Tapi dengan RUU Perampasan Aset, pendekatannya akan berubah. Jika ada aset yang secara nyata tidak sesuai dengan profil pemiliknya, tidak masuk akal jika dibandingkan dengan gaji atau pajaknya, maka itu sudah cukup jadi dasar untuk menindak.

Kata Lalola, RUU ini juga mengatasi kondisi-kondisi khusus yang sering bikin proses hukum macet. Misalnya, pelaku yang sudah meninggal, hilang, atau kasusnya tak cukup bukti untuk dibawa ke pengadilan. 

Dalam situasi seperti demikian, aset yang teridentifikasi tetap bisa disita, asalkan terbukti janggal dan berpotensi berasal dari kejahatan.

Di sisi lain, negara akan punya alat yang lebih kuat dan fleksibel untuk menghadapi kejahatan ekonomi. Tujuannya jelas: agar kekayaan yang berasal dari kejahatan tidak bisa dinikmati begitu saja hanya karena lemahnya sistem hukum. 

"Ini adalah langkah penting supaya hukum benar-benar bisa menjerat bukan hanya pelakunya, tapi juga hasil kejahatannya."

Kilas Balik RUU Perampasan Aset

Peraturan tentang perampasan aset sejatinya bukan hal baru. Upaya menyusun aturannya sudah dimulai sejak 2003 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebagai bentuk komitmen Indonesia terhadap standar internasional yang diatur dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Namun, sejak awal, perjalanannya tidak pernah mulus. Meski sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2005–2009 dan bahkan dijadikan prioritas pada 2008, pembahasannya tak pernah benar-benar berjalan. 

Harapan kembali muncul ketika rancangan undang-undang ini masuk lagi dalam Prolegnas 2010–2014, namun tetap tak dibahas secara serius.

Kondisinya tak berubah banyak pada periode berikutnya. Usulan kembali dimasukkan ke Prolegnas 2015–2019 dan diupayakan masuk daftar prioritas pada 2020, tapi pembahasannya kembali terhambat. 

Berulang kali alasan yang sama dilontarkan: belum jadi prioritas. Akibatnya, penyusunan regulasi yang krusial ini terus tertunda, seolah-olah tak dianggap mendesak oleh para pemegang kebijakan.

Di sisi lain, publik mulai gerah dengan berbagai kasus kekayaan tak wajar yang melibatkan aparatur sipil negara. Banyak laporan LHKPN yang dinilai janggal dan mengindikasikan ketidakjujuran. KPK bahkan mencatat berbagai kejanggalan dalam laporan harta pejabat yang seharusnya menjadi contoh integritas.

Situasi ini membuat kebutuhan akan mekanisme penyitaan aset ilegal semakin mendesak. Payung hukum yang kuat sangat dibutuhkan agar negara bisa bertindak tegas terhadap harta yang diperoleh dari kejahatan tanpa harus menunggu vonis pidana.

Pada 2023, Presiden Joko Widodo akhirnya mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR agar pembahasan dilakukan. Rancangan peraturan ini pun kembali masuk daftar prioritas Prolegnas tahun itu. Sayangnya, hingga kini, tak ada kejelasan soal kelanjutannya. Pembahasan belum juga dimulai secara serius.

Selama dua dekade, dorongan agar peraturan ini segera disahkan datang dari berbagai pihak—mulai dari Presiden sendiri, KPK, hingga masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW). 

Namun, semuanya seolah menemui jalan buntu. Sementara itu, praktik pencucian uang dan penimbunan aset hasil kejahatan terus berlangsung, tanpa ada payung hukum yang tegas untuk menghentikannya.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS