PARBOABOA, Pematangsiantar – Para petinggi gereja se-Sumatra Utara akhirnya bersikap keras terhadap perusak alam, PT Toba Pulp Lestari yang dulu bernama PT Indorayon Inti Utama. Mereka berhimpun di kampus Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar pada Rabu (14/5/2025). Selain pimpinan gereja se-Sumut, hadir juga para pegiat lingkungan.
"Sikap Gereja Katolik sedari dulu tidak berubah. Pertama, tutup TPL! Kedua, tutup TPL! Ketiga, Tutup TPL!" Pastor Ambrosius Nainggolan, Utusan Uskup Medan menegaskan hal itu. Tepuk tangan hadirin pun berderai-derai barusan.
Sebelumnya, ada Ephorus HKBP, Victor Tinambunan yang menyatakan sikap dalam acara yang dituanrumahi PGI ini.
Pimpinan baru gereja Protestan terbesar di Asia Tenggara ini berbeda dengan sebagian besar pendahulunya. Tanpa tedeng aling-aling ia menyatakan TPL telah sangat merusak alam kitaran Danau Toba dan sebab itu korporasi raksasa milik taipan Sukanto Tanoto mesti angkat kaki dari sana.
Ucapan Ephorus ternyata bergema keras. Gerakan Tutup TPL pun sekarang merebak lagi.
“Gerakan ini bukan soal keberanian semata. Sebab keberanian tanpa ketulusan hanyalah tindakan nekat yang tidak yang tidak bermakna,” ujar Victor saat konferensi pers Rabu (14/5).
Baginya, gerakan ini bukan ambisi sesaat atau kepentingan pribadi. Alam, katanya, sebagai ciptaan Tuhan harus dijaga. Bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk anak cucu di masa depan. Ketulusan ini menurutnya menjadi perekat yang menyatukan pemimpin gereja, akademisi, aktivis lingkungan, hingga pers.
Victor menjelaskan seruan ini lahir dari kesadaran atas dampak lingkungan yang kian tak terbantahkan akibat operasi TPL. Pencemaran air, kerusakan lingkungan, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati di wilayah sekitar menjadi isu menggugah nurani. Gereja, sebagai institusi moral, merasa bertanggung jawab merespons krisis ini.
Pertemuan ini dihadiri perwakilan pimpinan gereja seperti HKBP, GKPS, GKPI, GBKP, HKI, HKIP, GKI, GKLI, GPP, Persatuan Intelektual Kristen, dan perwakilan Uskup Agung Medan yang merupakan anggota Wali Gereja Indonesia.
Selain itu, turut hadir Akademisi, Rektor Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, dan beberapa akademisi dari sekolah teologi yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Toba.
Temuan KSPPM
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang berbasis di Parapat, Rocky Pasaribu, menyebut beberapa alasan utama yang menjadi dasar untuk mendesak penutupan PT TPL.
Pertama, sejak awal beroperasi, perusahaan tersebut dinilai tak pernah lepas dari pelanggaran hukum terkait perizinan. Persisnya sejak 1992 hingga 2021. Ada berbagai bentuk ketidaksesuaian terhadap regulasi, baik terkait pengelolaan hutan, penggunaan lahan, maupun hak-hak masyarakat adat yang diabaikan.
Selain itu, aktivitas perusahaan yang memproduksi pulp atau bubur kertas ini telah menimbulkan kerusakan ekologis yang masif, terutama terhadap sistem tata air di kawasan sekitar. Ada lima puluh sungai besar dan ribuan anak sungai mengalami degradasi akibat operasi TPL. Kerusakan ini berdampak langsung pada kualitas dan ketersediaan air, termasuk bagi Danau Toba.
"Dan keberadaan TPL tidak memberi manfaat ekonomi yang nyata bagi masyarakat lokal. Bukannya menciptakan kesejahteraan, tapi justru sebaliknya," ujar Rocky pada Parboaboa, Rabu (14/5/2025).
Penulis: P. Hasudungan Sirait & Rizal Tanjung
Editor: Rin Hindryati