PARBOABOA, Pematangsiantar - Fenomena uang logam yang mulai ditinggalkan sebagai alat transaksi/alat tukar terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia.
Di Pematangsiantar, Sumatra Utara (Sumut) gejala ini telah berlangsung lama. Di sana, uang logam, terutama uang pecahan 100 dan 200 rupiah sepertinya tak berlaku lagi.
Padahal mengacu pada peraturan resmi Bank Indonesia (BI), uang logam pecahan 100 dan 200 rupiah adalah alat transaksi dan pembayaran yang resmi yang diakui sah.
Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14 tahun 2023, BI hanya mencabut dan menarik uang pecahan Rp500 Tahun Emisi (TE) 1991, Rp1.000 TE 1993 dan Rp500 TE 1917.
M. Batubara (56), seorang pemilik warung di Jl. Kartini saat ditemui PARBOABOA mengungkapkan, gejala masyarakat enggan menggunakan uang logam pecahan 100 dan 200 rupiah terjadi ketika ia melakukan transaksi dengan para pembeli.
"Pembeli menolak uang logam 100 dan 200 rupiah ini sudah lama. Jadi karena itu saya pun tidak pernah menerima uang logam tersebut," ujarnya, Rabu (6/3/2024).
Dari pengalamannya, hal yang sering terjadi sebagai tanda uang logam mulai ditinggalkan cetus M. Batubara, pembeli menolak uang kembalian 100 dan 200 rupiah.
"Masyarakat lebih memilih mendapatkan kembalian uang yang berkisar 100 atau 200 rupiah dengan menggunakan permen," imbuhnya.
Namun demikian, ketimbang uang logam pecahan 100 dan 200 rupiah, uang pecahan 500 rupiah masih digunakan masyarakat baik untuk membeli sesuatu maupun sebagai uang kembalian.
Terpisah, Pengamat Ekonomi, Darwin Damanik juga mengungkapkan keengganan masyarakat menggunakan pecahan uang logam 100 dan 200 rupiah sebagai fenomena lama.
Penyebabnya kata dia bermacam-macam salah satunya terkait fleksibilitas.
"Alasannya karena kurang fleksibel untuk dibawa-bawa dibandingkan uang kertas," katanya kepada PARBOABOA, Rabu (6/3/2024).
Ia mewanti-wanti gejala ini dengan menjelaskan implikasi hukumnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang kata Darwin, masyarakat yang menolak uang koin rupiah sebagai alat pembayaran dalam transaksi jual-beli bisa dikenakan sanksi.
Tak hanya itu, menolak uang pecahan kecil bukan hanya masalah hukum semata, tetapi juga mengindikasikan masalah ekonomi yang lebih besar seperti inflasi.
"Uang pecahan ini bisa dijadikan indikator terjadinya inflasi sehingga nilai mata uang ini seakan melemah nilainya."
"Dan akhirnya penggunaan uang pecahan ini menjadi kurang diminati dalam transaksi-transaksi di masyarakat," tambahnya.
Saat ini, ia tak menampik adanya perkembangan uang elektronik dan digital membuat preferensi masyarakat terhadap uang pecahan mulai bergeser.
Namun itu bukan berarti masyarakat harus menolak uang receh. Masyarakat harus tetap menerima atau mengikuti segala jenis uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bagian dari kegiatan ekonomi.
"Dan bagi pemerintah, perlu untuk mengkaji kembali fenomena tersebut, sehingga kebijakan yang dihasilkan oleh Bank Indonesia dapat efektif dan tepat," tegasnya.
lantas ia mendorong BI agar mengupayakan peningkatan literasi dan akseptasi masyarakat terhadap uang rupiah logam.
Ia juga menyinggung dampak psikologis yang ditimbulkan dari situasi ini, terutama bagi masyarakat yang pekerjaannya berkaitan langsung dengan uang receh.
"Ketika ditolak dalam melakukan transaksi pembayaran dengan uang receh, pasti akan ada kekecewaan," katanya.
BI sendiri secara rutin melakukan survei preferensi masyarakat terhadap berbagai pecahan uang. Survei ini penting untuk menentukan jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Darwin mengatakan, kalau berdasarkan hasil survei preferensi masyarakat menggunakan uang receh rendah, "uang pecahan 100 atau 200, pasti Bank Indonesia akan bisa menarik peredaran uang tersebut."