parboaboa

Udara Jakarta: Terkontaminasi Bahan Kimia Berbahaya PLTU dan Ancam Ekosistem Makhluk Hidup

Puspita | Metropolitan | 01-10-2023

Kualitas udara di Jabodetabek semakin buruk karena diduga telah terkontaminasi bahan kimia berbahaya yang disumbang dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di DKI Jakarta dan sekitarnya. (Foto: PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta – Udara di DKI Jakarta dan sekitarnya diduga telah terkontaminasi bahan kimia berbahaya yang mengancam ekosistem makhluk hidup dan lingkungan.

Kontaminasi bahan kimia ini disumbang dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di DKI Jakarta dan sekitarnya.

"Zat kimia dari pembakaran PLTU yang kemudian dihirup setiap hari akan sangat berbahaya bagi organ tubuh makhluk hidup," kata Peneliti dari Departemen Kimia Universitas Indonesia, Agustinus Zulys, Sabtu (30/9/2023).

Peneliti yang juga memberikan Kuliah Umum berjudul Pandangan Ilmu Lingkungan terhadap Polusi Udara di Indonesia ini mengatakan, sumbangsih terbesar polusi udara Jakarta adalah pembakaran batu bara yang dipakai sebagai bahan bakar PLTU.

"Pembangkit listrik berkontribusi terbesar mengandung sulfur oksida (Sox) sebesar 93 persen. Polutan gas yang bersifat asam, utamanya terbentuk dari oksidasi molekul N, dari udara pada pembakaran bahan bakar fosil, sektor transportasi, industri dan aktivitas warga Jakarta lain," jelas Agustinus.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebanyak 16 unit PLTU yang berlokasi di sekitar Jakarta.

Dari jumlah itu, 10 di antaranya berlokasi di Banten dan sisanya tersebar di Jawa Barat. Di antaranya PLTU Banten Suralaya, PLTU Cemindo Gemilang, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Merak, PLTU Cilegon PTIP, PLTU Jawa-7, PLTU Banten Labuan, PLTU DSS Serang, PLTU Banten Lontar dan PLTU Cikarang Babelan.

Agustinus mengungkapkan, meski gas ini, sangat mudah larut dalam air, namun gas ini memiliki bau namun tidak berwarna. 

Ia mengatakan, sulfur dioksida dan gas-gas oksida sulfur lainnya terbentuk saat terjadi pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung sulfur.

"Sulfur sendiri terdapat dalam hampir semua material mentah yang belum diolah seperti minyak mentah, batu bara dan bijih-bijih yang mengandung metal seperti alumunium, tembaga, seng, timbal dan besi,” ucapnya.

“Sulfur dioksida (SO2) dan Sulfur trioksida (SO3) dan keduanya disebut sulfur oksida (SOx). Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah terbakar di udara. Sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif," jelas Agustinus.

Ia mengatakan, Gas sulfur dioksida telah lama dikenal sebagai gas yang dapat menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan, seperti pada selaput hidung, tenggorokan dan saluran udara di paru-paru.

"Efek kesehatan ini menjadi lebih buruk pada penderita asma, di samping itu SO2 terkonversi di udara menjadi pencemar sekunder seperti aerosol sulfat,” ungkap dia.

Agustinus juga mengungkapkan 93 persen cemaran zat berbahaya berasal dari pembangkit listrik, 5 persen dari transportasi, 2 persen dari aktivitas industri.

Akademisi Universitas Indonesia itu menambahkan, solusi efektif mengurangi polutan berbahaya adalah pemanfaatan energi bersih seperti energi matahari, air dan udara.

"Namun saat ini masih jauh, masih dikembangkan, barangkali kita bisa memanfaatkan gas hidrogen sebagai bahan bakar alternatif. Hal ini akan mengurangi kualitas udara buruk," imbuh Agustinus.

Sebelumnya, pemerintah telah menonaktifkan PLTU batu bara, yaitu PLTU Suralaya 1, 2, 3 dan 4 di Cilegon, Banten.

Namun, pemerintah seolah setengah hati dan ragu menutup PLTU yang diduga menjadi sumber terbanyak penyebab polusi Jabodetabek.

Direktur Utama PT PLN Indonesia Power, Edwin Nugraha Putra menegaskan, operasional PLTU Suralaya telah memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah.

PLN bahkan melakukan pengurangan operasional PLTU pada 28 Agustus, saat disebut sebagai kontributor polusi Jakarta.

"PLN mengurangi operasional PLTU Suralaya sebanyak 4 unit atau sebesar 1.600 Megawatt (MW) tapi kita ketahui polusi di Jakarta justru semakin tinggi," katanya.

PT PLN, kata dia, juga telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan emisi dari operasional pembangkitnya.

Saat ini PLTU Suralaya telah dilengkapi dengan teknologi Electrostatic Precipitator (ESP) yang akan menyaring debu sisa pembakaran sampai ukuran terkecil di bawah 2 micrometer dan Flue Gas Desulphurization (FGD) untuk mengendalikan polutan NOx dan SOx.

"Di sisi pengawasan emisi, PLTU Suralaya telah dilengkapi dengan Continuous Emission Monitoring System (CEMS) untuk memastikan emisi gas buang dari operasional tetap di bawah ambang batas yang ditentukan. Di sini bisa dilihat, PLN menerapkan sistem digital untuk mengelola seluruh pembangkit kami. Monitoring sistem pembangkit membuat operasional semakin efektif dan efisien," imbuh Edwin.

Di lain pihak, Pemprov DKI Jakarta belum mau menganggap polusi udara merupakan situasi darurat.

“Kalau lihat data sih sejauh ini belum masuk kategori darurat, karena tren jumlah penyakit enggak naik drastis tapi naik turun,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinkes DKI Jakarta Ani Ruspitawati.

Ani tetap melakukan upaya antisipasi pencegahan penyakit bila polusi udara menyebabkan warga Jakarta menjadi sakit.

"Pemantauan data kita tindaklanjuti dengan terus memberikan edukasi kepada masyarakat. Jadi tetap tidak dibiarkan meskipun secara kasus kami tidak menganggap itu sebagai suatu kedaruratan," pungkasnya.

Editor : Kurniati

Tag : #pltu batu bara    #polusi udara jakarta    #metropolitan    #bahan kimia berbahaya pltu    #bahan bakar batu baru    #klhk    #dinas kesehatan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU