PARBOABOA, Jakarta – Indonesia akhirnya meraih kemenangan penting dalam sengketa perdagangan internasional melawan Uni Eropa (UE) terkait pengenaan bea masuk imbalan atas produk biodiesel sawit.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan bahwa kebijakan UE dinilai diskriminatif dan tidak sejalan dengan aturan perdagangan global, sebuah kabar yang disambut gembira oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Airlangga menyampaikan bahwa panel WTO telah menguatkan posisi Indonesia atas sejumlah klaim utama dalam gugatan yang sudah berlangsung sejak 2019.
“Ini kabar baik bagi perkembangan komoditas andalan ekspor Indonesia. Panel WTO mendukung Indonesia terkait dumping duty biodiesel di Eropa,” ujar Airlangga di kantornya, Jakarta, Sabtu (23/8/2025).
Putusan tersebut mewajibkan Uni Eropa untuk menyesuaikan kebijakan dengan Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement).
UE selama ini merupakan pasar krusial bagi minyak sawit dan biodiesel asal Indonesia, sehingga keputusan WTO diyakini membuka peluang besar untuk memperluas akses pasar secara lebih adil.
Meski begitu, Indonesia masih menunggu sikap resmi dari Uni Eropa. Airlangga menegaskan bahwa pemerintah akan terus mengawal implementasi keputusan panel WTO tersebut.
“Sekarang tinggal menunggu bagaimana Uni Eropa merespons putusan ini,” katanya.
Selain sengketa dengan UE, Indonesia juga tengah memperluas akses perdagangan melalui kerja sama internasional lain.
Airlangga menyebut pemerintah sedang menjajaki keanggotaan dalam Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) yang diyakini bisa membuka pasar baru, termasuk ekspor otomotif ke Meksiko.
Panggung Perdagangan Global
Berita kemenangan Indonesia atas sengketa biodiesel dengan Uni Eropa di WTO mendapat sorotan dari pengamat ekonomi, Yohanes Mario Vianney.
Arief sapaan akrabnya menilai, putusan tersebut sebagai momentum penting yang tidak hanya membuka peluang peningkatan ekspor, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di panggung perdagangan global.
Menurut Arif, keputusan ini akan berdampak langsung pada akses pasar biodiesel Indonesia.
“Dengan dicabutnya bea masuk antidumping oleh Uni Eropa, produk biodiesel kita bisa masuk lebih kompetitif. Pasar menjadi lebih adil, dan ini kabar baik bagi produsen nasional,” ujar Arief kepada Parboaboa, Minggu (24/8/2025).
Ia menambahkan, potensi ekspor biodiesel Indonesia akan tumbuh signifikan seiring terbukanya pasar Eropa yang sebelumnya tertutup hambatan tarif.
“Indonesia adalah produsen biodiesel terbesar di dunia. Keputusan WTO ini memberi peluang emas untuk memperkuat posisi kita, bukan hanya sebagai eksportir, tetapi juga sebagai pemain utama yang diperhitungkan di rantai pasok energi terbarukan,” katanya.
Namun Arif mengingatkan, implementasi keputusan WTO di Uni Eropa tidak serta-merta terjadi seketika.
“Kita tetap harus realistis. Meski secara hukum Uni Eropa wajib mencabut tarif antidumping, biasanya ada proses teknis dan waktu yang dibutuhkan.
Di sinilah peran pemerintah penting untuk mengawal agar hasil keputusan benar-benar dirasakan industri,” jelasnya.
Arif juga menekankan bahwa kemenangan ini menegaskan kemampuan Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional di forum multilateral.
“Ini bukan hanya soal biodiesel, tapi juga simbol bahwa Indonesia mampu memperjuangkan keadilan perdagangan di WTO,” pungkasnya.
Akar Sengketa
Sengketa biodiesel ini berawal dari kebijakan Uni Eropa pada 2019 yang memberlakukan bea masuk imbalan (countervailing duties) sebesar 8–18 persen terhadap impor biodiesel dari Indonesia.
UE beralasan bahwa produk biodiesel Indonesia mendapat subsidi yang mengancam industri mereka.
Merasa kebijakan itu tidak adil, Indonesia mengajukan gugatan ke WTO pada tahun yang sama.
Pemerintah menilai aturan tersebut diskriminatif dan melanggar prinsip perdagangan internasional.
Proses panjang akhirnya membuahkan hasil setelah WTO membentuk panel pada November 2023, yang kemudian pada Januari 2025 menyimpulkan bahwa UE memang bertindak tidak sesuai aturan.
Kemenangan ini dianggap sebagai tonggak penting bagi komoditas unggulan Indonesia di pasar internasional.
Dengan rekomendasi WTO, Uni Eropa diwajibkan mencabut kebijakan yang terbukti diskriminatif, termasuk regulasi turunan mereka.
Airlangga menilai kemenangan ini bukan hanya soal biodiesel, tetapi juga tentang keberanian negara berkembang melawan kebijakan proteksionis negara maju.
“Momentum ini bisa memperkuat posisi Indonesia di kancah perdagangan global,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Airlangga juga memaparkan kondisi ekonomi nasional yang disebut masih kokoh di tengah dinamika global.
Pada kuartal II 2025, Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen secara tahunan.
Capaian ini diklaim lebih baik dibandingkan sebagian besar negara ASEAN, bahkan lebih tinggi daripada Amerika Serikat.
“Tidak ada negara lain di kawasan yang konsisten tumbuh 5 persen. Indonesia menjadi referensi bagi ASEAN,” ujar Airlangga.
Ia juga menepis anggapan bahwa data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS merupakan hasil manipulasi.
Selain itu, realisasi investasi Indonesia pada semester I 2025 tercatat mencapai Rp942,9 triliun.
Angka ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang relatif terjaga rendah, sebuah kombinasi yang semakin memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.