PARBOABOA, Jakarta– Suasana Car Free Day (CFD) di kawasan Sudirman–Thamrin, Jakarta, Minggu (24/8/2025) pagi, berbeda dari biasanya.
Ribuan masyarakat berolahraga, namun di antara kerumunan, ratusan mahasiswa kesehatan masyarakat yang tergabung dalam Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI) Jakarta Raya turun ke jalan menggelar aksi damai bertajuk Pawai Generasi Sehat Tanpa Rokok.
Bersama Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) dan sejumlah komunitas, mereka menyuarakan penolakan keras terhadap ajang World Vape Fair 2025 yang akan digelar di Jakarta Convention Centre pada 30–31 Agustus mendatang.
World Vape Fair dikenal luas sebagai pameran rokok elektronik terbesar di Asia, menghadirkan ratusan merek internasional dengan promosi masif di media sosial.
Bagi kalangan muda yang beraksi hari itu, pameran ini bukan sekadar bisnis, melainkan strategi normalisasi produk adiktif yang secara terang-terangan menyasar generasi muda.
Koordinator Daerah ISMKMI Jakarta Raya, Qurrota Aini Al-Bahri, kepada media mengatakan, World Vape Fair adalah bentuk promosi besar-besaran industri yang jelas melanggar aturan.
Menurutnya, UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP No. 28 Tahun 2024 sudah tegas melarang iklan, promosi, maupun sponsor produk tembakau dan rokok elektronik, termasuk di media digital.
“Kehadiran acara ini justru menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah,” tegas Aini
Aksi itu bukan tanpa alasan. Data Global Adults Tobacco Survey mencatat prevalensi pengguna rokok elektronik di Indonesia melonjak tajam: dari 0,3 persen pada 2011 menjadi 3 persen pada 2021.
Lonjakan sepuluh kali lipat itu memperlihatkan efektivitas promosi industri dalam menarik minat remaja, sekaligus menegaskan bahwa regulasi yang ada belum cukup melindungi kelompok rentan.
“Generasi muda semakin terjebak dalam adiksi baru. Ini ancaman serius bagi masa depan kesehatan bangsa,” ujar Aini.
Indonesia Jadi Etalase Industri
Tak berhenti di Jakarta, Indonesia bahkan dijadwalkan menjadi tuan rumah World Tobacco Asia 2025 di Surabaya, Oktober mendatang.
Menurut Aini, hal ini memperlihatkan bagaimana Indonesia dibiarkan menjadi “etalase” internasional bagi industri rokok dan rokok elektronik.
“Padahal, anak muda kita sedang menghadapi risiko kesehatan jangka panjang. Pemerintah justru tampak memberi karpet merah bagi industri adiktif,” katanya.
Selain menolak pameran, massa aksi juga menyoroti sikap pemerintah yang dinilai abai. Salah satu sorotan adalah belum disahkannya Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta.
“Tanpa komitmen nyata dari pemerintah, semua penolakan hanya sebatas simbol. Kita butuh keberanian politik untuk menempatkan kesehatan publik di atas kepentingan industri,” tegas Aini.
Sebelum aksi turun ke jalan, ISMKMI Jakarta Raya bersama jejaringnya aktif menggalang perlawanan secara daring.
Petisi digital, kampanye media sosial, hingga surat terbuka kepada pemerintah telah dilayangkan. Semua upaya ini bertujuan memperkuat kesadaran publik sekaligus menekan pemerintah agar bertindak.
Pawai di CFD kemudian menjadi simbol solidaritas dan perlawanan anak muda terhadap gempuran industri.
Mereka mendesak pembatalan World Vape Fair sekaligus menuntut regulasi lebih tegas agar tidak lagi ada ruang promosi bagi produk adiktif.
Bahaya Vape
Praktisi kesehatan menegaskan bahwa vape bukanlah “alternatif aman” dari rokok konvensional.
Dr. Arief Budiman, Sp.P (dokter spesialis paru RS Persahabatan Jakarta), mengingatkan bahwa cairan rokok elektronik mengandung nikotin tinggi serta zat berbahaya seperti formaldehida dan logam berat.
“Penggunaan vape dalam jangka panjang bisa merusak fungsi paru, memicu kecanduan nikotin, hingga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Klaim industri bahwa vape lebih aman adalah ilusi pemasaran. Justru generasi muda yang paling rentan menjadi korban,” jelas dr. Arief baru-baru ini.
Sementara dari sisi ekonomi, pengamat ekonomi Yohanes Mario Vianney menilai, kehadiran World Vape Fair adalah bagian dari strategi industri untuk memperluas pasar di negara berkembang dengan regulasi lemah.
Arief sapaan akrabnya, menjelaskan industri vape, tengah menghadapi pengetatan regulasi di Eropa dan Amerika. Karena itu, Asia Tenggara terutama Indonesia dijadikan ladang ekspansi.
“Pemerintah seolah menutup mata karena tergiur investasi dan pajak, padahal kerugian kesehatan masyarakat jauh lebih besar,” tegas Arief.
Bagi para mahasiswa dan orang muda Jakarta, perlawanan ini adalah soal keberanian negara melawan kepentingan bisnis.
“Kami tidak ingin generasi kami dijadikan korban adiksi demi keuntungan industri. Suara anak muda akan terus kami gaungkan sampai ada tindakan nyata,” pungkas Aini.