PARBOABOA, Jakarta - Fenomena kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan resmi kian menonjol dalam dinamika sosial masyarakat Indonesia.
Praktik yang lebih dikenal sebagai “kumpul kebo” ini menyita perhatian karena dampaknya yang kompleks, terutama bagi perempuan dan anak-anak dalam struktur keluarga informal.
Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengkaji fenomena ini melalui survei Pendataan Keluarga 2021 dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Di Kota Manado, misalnya, Aini menemukan bahwa 0,6 persen penduduk menjalani kohabitasi. Dari angka itu, 1,9 persen diantaranya sedang hamil saat melakukan survei.
Mayoritas pasangan berusia di bawah 30 tahun (24,3 persen), berpendidikan SMA ke bawah (83,7 persen), serta didominasi pekerja sektor informal (53,5 persen) atau tidak bekerja (11,6 persen).
Dinamika dalam hubungan kohabitasi juga tidak lepas dari konflik.
Berdasarkan data yang sama, 69,1 persen pasangan menghadapi konflik ringan, 0,62 persen mengalami konflik serius hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen terlibat dalam KDRT.
Di kawasan timur Indonesia, kohabitasi menjadi lebih umum.
Penelitian berjudul “The Untold Story of Cohabitation: Marital Choice and Education Investment” (2021) mengungkapkan, tingginya biaya pernikahan menjadi alasan utama pasangan enggan menikah secara resmi.
Namun, dampaknya tidak sederhana. Anak-anak dari rumah tangga kohabitasi menunjukkan skor kognitif 0,288 deviasi standar lebih rendah dibanding anak-anak dari keluarga dengan ikatan pernikahan sah.
Selain itu, pengeluaran untuk pendidikan rumah tangga kohabitasi tercatat 4,4 persen lebih rendah.
Meski demikian, studi tersebut menegaskan pentingnya mempertimbangkan konteks lokal, karena karakteristik kohabitasi di berbagai daerah bisa sangat berbeda, sehingga dampaknya pun bisa beragam.
Dimensi Hukum
Dalam kerangka hukum Indonesia, kohabitasi mendapat perhatian dalam KUHP baru yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.
Pasal 412 ayat (1) menyebut bahwa, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."
Ketentuan ini akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Pasal ini tergolong sebagai delik aduan absolut. Dhahana Putra, Dirjen HAM pada 2024 menjelaskan bahwa aduan hanya bisa datang dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat.
Tanpa pengaduan dari pihak tersebut, proses hukum tidak dapat dijalankan.
Dinda Balqis, analis hukum dari Kemenkumham, menjelaskan bahwa Pasal 412 adalah delik formil. Itu berarti, perbuatan dianggap tindak pidana cukup dengan adanya kohabitasi itu sendiri, tanpa harus terbukti menimbulkan akibat tertentu.
KUHP baru ini juga memperluas definisi pelaku, tidak terbatas pada mereka yang telah menikah seperti dalam KUHP lama.
Terpisah, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat menerangkan bahwa kohabitasi kini menjadi pola relasi yang semakin umum di perkotaan.
Ia melihat adanya pergeseran nilai, di mana ikatan pernikahan tidak lagi dianggap mutlak atau sakral. Pengaruh budaya Barat dan media global turut mempercepat adopsi nilai-nilai individualistik, terutama di kalangan muda.
Namun, ia juga menekankan pentingnya memahami perbedaan konteks.
Di daerah yang religius atau terpencil, kohabitasi kerap disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap lembaga pernikahan resmi seperti KUA atau gereja, bukan semata-mata akibat liberalisasi nilai.
“Ada keragaman konteksnya. Taruhlah di Indonesia timur mereka melakukan itu mungkin karena ada pertimbangan lain. Misalnya, keterbatasan akses institusi seperti gereja atau KUA,” jelas Rakhmat dalam pernyataannya awal Juni lalu.
Wawan Kurniawan, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia, menilai bahwa kohabitasi sering kali merupakan hasil dari interaksi antara kebutuhan psikologis dan tekanan sosial.
Beberapa pasangan melihat kohabitasi sebagai sarana uji coba kecocokan, atau sebagai bentuk perlindungan dari pengalaman traumatis terhadap pernikahan, seperti latar belakang keluarga yang tidak harmonis.
“Sebagian lainnya memilih kohabitasi karena latar belakang pengalaman keluarga yang tidak harmonis, yang menimbulkan ketakutan terhadap institusi pernikahan itu sendiri,” ungkapnya mengutip laporan Tirto, Rabu (11/6/2025).
Ia juga menyebut bahwa tekanan ekonomi, biaya pernikahan, serta ekspektasi sosial dapat membuat kohabitasi menjadi opsi yang dianggap lebih praktis, walaupun belum sepenuhnya diterima di masyarakat konservatif.
Namun, Wawan memperingatkan bahwa kohabitasi rentan menimbulkan ketidakpastian emosional, terutama bila tidak ada kejelasan komitmen.
Dalam masyarakat seperti Indonesia yang masih menjunjung nilai tradisional, tekanan sosial dan kurangnya perlindungan hukum memberi risiko tersendiri bagi pelaku.
Kerentanan Perempuan
Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, menekankan bahwa kohabitasi seringkali menjadi bentuk adaptasi terhadap situasi hidup yang kompleks, terutama bagi perempuan.
Dalam beberapa kasus, kohabitasi memudahkan perempuan keluar dari hubungan yang tidak sehat, termasuk KDRT. Namun, ia juga memperingatkan bahwa posisi perempuan dalam relasi semacam ini sangat rentan secara hukum, ekonomi, dan sosial.
“Ketika kohabitasi ini dilakukan akan memudahkan untuk mereka mengambil keputusan tinggal pergi saja,” jelasnya dalam sebuah keterangan yang diterima, Kamis (12/6/2025).
Namun, dalam konteks kekerasan, ketidakhadiran ikatan hukum membuat perempuan kesulitan memperkarakan kasus KDRT atau mempertahankan hak atas harta bersama.
Bahkan dalam kasus kehamilan, sering kali laki-laki mengelak dari tanggung jawab, yang mengakibatkan perempuan menanggung beban secara sepihak.
“Biasanya perempuan yang akan mengalami kerugian terbesar ketika terjadi misalnya konflik atau sengketa ya sengketa harta aset di dalam relasi kohabitasi,” tegas Mike.
Ia pun menambahkan bahwa kohabitasi dapat membuka celah terhadap tindak kejahatan seperti eksploitasi seksual dan perdagangan orang.
Oleh sebab itu, menurut Koalisi Perempuan Indonesia, kohabitasi tidak seharusnya dinormalisasi, terlebih bagi generasi muda.