Angka Kekerasan Seksual di Sekolah Agama

Angka Kekerasan Seksual di Sekolah Agama selalu Meningkat. (Foto: Dok. Kementerian Sekretariat Negara RI)

PARBOABOA, Jakarta - Di balik dinding sekolah, ada cerita yang tidak semua orang tahu. Cerita yang seringkali ditutupi oleh alasan “menjaga nama baik.”

Beberapa kisah tersebut, disajikan Parboaboa melalui liputan khusus yang bertajuk, “Kekerasan Seksual di Sekolah Agama” pada, Senin (16/09/2024).

Kekerasan seksual di sekolah agama kerap kali terjadi secara diam-diam. Pelakunya, bisa seorang guru, pengasuh, atau bahkan teman sekelas.

Banyak yang menggunakan alasan bimbingan agama untuk mendekati korban. Awalnya, pelaku berperan sebagai sosok yang peduli dan perhatian.

Mereka mendekati korban dengan memberi nasihat dan membimbing. Namun, perlahan perhatian itu berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap.

Modus lain yang kerap terjadi adalah ancaman dan manipulasi. Pelaku sering menggunakan posisinya yang berkuasa untuk mengancam korban agar tidak melaporkan kejadian tersebut.

Misalnya, dengan mengancam akan menurunkan nilai atau bahkan mengeluarkan korban dari sekolah.

Ada juga modus dengan iming-iming hadiah atau janji bantuan dalam hal pendidikan atau keagamaan. Semua ini dilakukan dengan tujuan untuk menakut-nakuti atau memanipulasi korban.

Tragisnya, kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi di satu jenis sekolah agama saja. Dari madrasah hingga pesantren, dari sekolah swasta hingga negeri, kasus kekerasan seksual terjadi di berbagai institusi.

Modus-modus ini berbeda-beda, tetapi polanya selalu sama, penyalahgunaan kepercayaan dan kekuasaan.

Data mengenai kekerasan seksual di sekolah agama dari tahun ke tahun biasanya disajikan oleh berbagai lembaga penelitian, pemerintah, atau organisasi non-pemerintah (LSM) yang fokus pada isu pendidikan, hak asasi manusia, atau perlindungan anak.

Laporan lembaga-lembaga tersebut, menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual di sekolah agama dari tahun ke tahun.

Berikut adalah beberapa lembaga yang sering menyajikan data tentang kekerasan seksual di sekolah agama beserta data mereka:

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis 18 kasus kekerasan seksual di sekolah agama pada 2021. Angka ini meningkat menjadi 25 kasus pada tahun 2022. Sementara pada tahun 2023, tercatat ada 33 kasus.

Selain itu, ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik. Organisasi berfokus pada hak-hak perempuan dan anak juga melaporkan kasus kekerasan seksual di sekolah agama.

Lembaga ini mencatat 15 kasus kekerasan seksual di sekolah agama pada tahun 2020, kemudian menjadi 22 kasus pada tahun 2021 dan 28 kasus satu tahun kemudian.

Demikian juga, Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) di Universitas Islam Negeri (UIN), melaporkan, pada tahun 2021 terdapat 10 kasus, lalu bertambah jadi 17 kasus pada tahun 2022. Kemudian, pada tahun 2023 terdapat 21 kasus.

Diketahui, lembaga ini sering melakukan penelitian terkait isu gender dan anak di lingkungan pendidikan agama.

Sementara Komnas Perempuan mengeluarkan laporan tentang kekerasan seksual di berbagai tempat, termasuk di sekolah agama.

Menurut laporan lembaga ini, pada tahun 2020, terdapat 20 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi di sekolah agama. Lalu pada tahun 2021, terdapat 27 kasus dan tahun 2022 terdapat 30 kasus.

Ada juga data yang dirilis oleh Sahabat Anak. Lembaga ini sering mengadvokasi hak-hak anak dan memberikan data kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah, termasuk sekolah agama.

Data yang dihimpun lembaga ini, tercatat 13 kasus terjadi pada tahun 2019. Lalu, tahun 2020, terdapat 18 kasus dan tahun 2021 naik menjadi 24 kasus.

Kenaikan ini tidak hanya menunjukkan keberanian lebih banyak korban untuk melapor, tetapi juga menggambarkan masalah yang semakin meluas.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa dari total kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, 30% di antaranya terjadi di lingkungan sekolah agama. In

Kekerasan seksual di sekolah agama meninggalkan luka mendalam bagi korban. Dampaknya tidak hanya dirasakan secara fisik, tetapi juga psikologis.

Banyak korban yang mengalami trauma berkepanjangan, ketakutan, dan bahkan depresi. Mereka kehilangan rasa percaya diri dan merasa bersalah atas apa yang terjadi.

Dalam beberapa kasus, korban bahkan mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Korban juga seringkali dihadapkan pada stigma negatif dari lingkungan sekitarnya. Mereka dituduh “mencemarkan nama baik sekolah” atau dianggap “mengada-ada.”

Dalam lingkungan yang sangat menjaga reputasi seperti sekolah agama, ini menjadi beban tambahan bagi korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami.

Akibatnya, banyak korban yang memilih diam dan memendam rasa sakit mereka sendiri.

Meningkatnya kesadaran publik tentang isu kekerasan seksual di sekolah agama mendorong pemerintah dan berbagai organisasi untuk mengambil langkah lebih tegas.

Pada 2021, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Agama yang menegaskan perlunya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Namun, implementasinya masih jauh dari kata sempurna.

Beberapa sekolah agama telah mulai menerapkan program pendidikan tentang kesetaraan gender dan hak asasi manusia.

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa dan guru tentang pentingnya menjaga integritas dan menghargai hak setiap individu.

Selain itu, beberapa sekolah juga telah membentuk tim khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual.

Tim ini terdiri dari guru, psikolog, dan tokoh agama yang telah dilatih untuk menghadapi kasus kekerasan seksual dengan sensitivitas dan keadilan.

Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil juga berperan aktif. Mereka memberikan pelatihan dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual.

Salah satu organisasi yang aktif dalam upaya ini adalah Yayasan Pulih, yang menyediakan layanan konseling gratis bagi korban kekerasan seksual, termasuk bagi mereka yang berasal dari sekolah agama.

Organisasi ini juga melakukan kampanye kesadaran di media sosial untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mendukung korban dan menghukum pelaku.

Peran orang tua dan masyarakat juga tidak kalah penting dalam mencegah kekerasan seksual di sekolah agama.

Orang tua perlu lebih peka terhadap tanda-tanda yang mungkin menunjukkan anak mengalami kekerasan seksual.

Misalnya, perubahan perilaku mendadak, ketakutan yang tidak wajar, atau penurunan prestasi belajar.

Orang tua juga perlu memberikan pendidikan seks yang sesuai usia untuk membekali anak-anak mereka tentang apa yang harus dilakukan jika mereka menghadapi situasi yang tidak nyaman.

Masyarakat di sekitar sekolah agama juga harus lebih waspada dan berani bersuara.

Seringkali, kasus kekerasan seksual di sekolah agama terjadi karena masyarakat memilih untuk tidak peduli atau merasa ini adalah masalah internal sekolah yang tidak perlu diurus.

Sikap seperti ini harus diubah. Kekerasan seksual adalah masalah bersama yang membutuhkan solusi bersama.

Peningkatan kasus kekerasan seksual di sekolah agama adalah cermin dari banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Semua pihak, pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, hingga orang tua—harus bergandengan tangan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari kekerasan.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS