PARBOABOA, Jakarta - Eks Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) mengkritik tajam pimpinan KPK, Firli Bahuri dan lainnya imbas operasi tangkap tangan (0TT) Kepala Basarnas, Marsekal Madya Henri Alfiandi.
Ia juga menyoroti pernyataan pimpinan KPK, Johanis Tanak yang menyebut OTT dan penetapan tersangka Kepala Basarnas merupakan kekhilafan.
Bambang pun mendesak Firli dan anggota KPK lainnya mundur dari jabatannya. Ia menilai, pimpinan lembaga antirasuah itu telah menistakan pemberantasan korupsi.
“Pernyataan itu dengan menuding kesalahan ada pada tim penyidik adalah keliru, naif, konyol dan absurd dan tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat,” tegas Bambang Widjojanto kepada PARBOABOA, Senin (31/7/2023).
Bambang menuding pimpinan KPK tidak paham soal tugas dan kewajiban lembaga Basarnas yang merupakan lembaga non-pemerintahan, tapi bukan lembaga militer. Sehingga, lanjutnya, siapa pun kepalanya adalah pimpinan non-pemerintahan yang memiliki wewenang penyelenggaraan pemerintahan dan bukan komandan dari suatu institusi militer.
“Sangat jelas dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 secara tegas menyatakan ‘Basarnas adalah lembaga pemerintah non-kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pencarian dan Pertolongan,” katanya.
Dengan Undang-Undang tersebut, kata Bambang, KPK mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang melibatkan penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dan dilakukan aparat atau penyelenggara negara.
Hal itu, menurutnya, lebih lanjut diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang KPK yang secara tegas menyatakan ‘KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
“Dugaan tindak kejahatan yang dilakukan Kepala Basarnas tindak korupsi yang dilakukan penyelenggara negara bukan komandan militer di institusi kemiliteran; serta seandainya, pelaku masih aktif di militer tapi kejahatan dilakukan bersama dengan pihak yang tidak tunduk pada peradilan militer sehingga KPK tetap dapat otoritas untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan proses pemeriksaan atas kejahatan dimaksud,” jelas Bambang Widjojanto.
Dosen di Universitas Djuanda Bogor ini juga menegaskan, pimpinan KPK telah melakukan kesalahan fatal dan pelanggaran etik berat dalam kasus OTT Kepala Basarnas tersebut. Bambang lantas mendesak pimpinan KPK mengundurkan diri atas kesalahan fatal tersebut.
“Pimpinan KPK untuk mengundurkan diri atau diberhentikan dan hal itu dapat dilakukan oleh Presiden RI melalui pemeriksaan awal yang dilakukan Dewan Pengawas KPK yang melibatkan informal leader yang integritasnya tidak diragukan,” tegasnya.
Bambang juga mendorong pimpinan KPK untuk mencabut kembali pernyataannya dan memeriksa kembali kasus dugaan korupsi Kepala Basarnas sebagai tersangka.
Polemik Penetapan Tersangka Kepala Basarnas
Sebelumnya, bergulir polemik penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi yang merupakan anggota TNI aktif sebagai tersangka oleh KPK, setelah OTT, Rabu pekan lalu.
Henri menjadi tersangka buntut kasus suap proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Ia jadi tersangka bersama Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto.
Namun, Mabes TNI tak mengakui penetapan tersangka anggotanya tersebut.
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsekal Muda TNI Agung Handoko menyatakan, KPK telah melebihi kewenangannya dalam menjalankan tugas dan kewenangan.
Agung menegaskan, Henri saat menjalankan tugas sebagai Kabasarnas masih berstatus TNI aktif, sehingga menurutnya, penetapan tersangka bagi anggota TNI aktif tidak bisa sembarangan dilakukan selain oleh Puspom TNI.
“Menurut kami apa yang dilakukan oleh KPK untuk menahan personel militer menyalahi aturan. UU Peradilan Militer sudah jelas bahwa kami TNI, ada kekhususan, ada undang undang tentang peradilan militer, nah itu yang kami gunakan,” tegas Agung, pekan lalu.
Menyikapi penolakan TNI itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan permintaan maaf. Johanis bahkan menyebut, penyidik KPK melakukan kekhilafan atas penetapan tersangka Henri. KPK lantas melimpahkan penanganan kasus Henri kepada Puspom TNI.
“Kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasanya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani,” ucap Johanis, Jumat pekan lalu.
"Kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI, atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” sambungnya.
Menkopolhukam Mahfud MD Minta Fokus ke Substansi Masalah
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai, KPK dan TNI tak perlu memperdebatkan lagi ihwal perbedaan prosedur penetapan tersangka di kasus Kepala Basarnas Henri Alfiandi.
“Meskipun harus disesalkan, problem yang sudah terjadi itu tak perlu lagi diperdebatkan berpanjang-panjang,” tegas Mahfud dalam pernyataannya di Instagram pribadinya, dikutip PARBOABOA, Senin (31/7/2023).
Apalagi, lanjutnya, KPK sudah mengaku khilaf secara prosedural, sedangkan TNI juga menerima substansi masalahnya.
Mahfud meminta semua pihak untuk fokus pada substansi masalah dan tindak lanjut hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan Kepala Basarnas tersebut.
“Yang penting masalah korupsi yang substansinya sudah diinformasikan dan dikoordinasikan sebelumnya kepada TNI ini harus dilanjutkan dan dituntaskan melalui Pengadilan Militer,” imbuh Mahfud MD.