PARBOABOA, Jakarta – Ancaman resesi ekonomi global kian nyata. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa perkembangan ekonomi dan keuangan global di tahun depan diprediksi masih penuh dengan tantangan.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, setidaknya ada 5 hal atau tantangan yang perlu di cermati guna meningkatkan kewaspadaan untuk mengamankan ekonomi Indonesia.
"Kondisi ekonomi dan keuangan global pada tahun depan tentu saja penuh dengan tantangan. BI melihat ada tidaknya 5 yang perlu kita cermati," ujarnya saat konferensi pers, Kamis (20/10).
1. Perlambatan ekonomi global
Perry mengungkapkan, pihaknya melihat bahwa pertumbuhan ekonomi global di tahun depan akan lebih melambat jika dibandingkan dengan tahun ini.
"BI memperkirakan ekonomi global tahun ini 3 persen dan tahun depan 2,6 persen dengan risiko ke bawah," kata Perry.
Hal itu karena berbagai negara maju mengalami perlambatan ekonomi dan pengetatan moneter yang kemudian akan menyebabkan perlambatan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia.
Ia menyebutkan, perlambatan ekonomi ini utamanya akan terjadi di Amerika Srikat (AS) yang diperkirakan pertumbuhan ekonominya hanya tumbuh 1,2 persen di tahun depan. Melambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diperkirakan masih tumbuh 2,5 persen.
Kemudian, Eropa juga hanya akan tumbuh 0,7 persen di 2023 serta negara-negara maju seperti Tiongkok.
2. Inflasi global tinggi
Perry menyebut, inflasi global diperkirakan akan melonjak dari tahun ini dan diperkirakan bakal menyentuh angka 9,2 persen. Inflasi global ini disumbang oleh negara-negara maju maupun berkembang di mana inflasi yang terjadi di negara berkembang akan lebih tinggi.
"8,2 persen di Amerika, 9,2 persen di Eropa dan juga bahkan sangat tinggi di negara negara emerging market (berkembang) seperti Brazil, Turki, Argentina maupun yang lain-lain," ucapnya.
3. Kenaikan suku bunga yang agresif
Dengan kenaikan inflasi yang tinggi, bank sentral negara-negara yang terkena tentu akan memitigasinya melalui suku bunga acuan yang agresif guna menekan inflasi.
Misalnya seperti yang saat ini terjadi di AS dengan inflasi yang mencapai 8,2 persen, bank sentral AS (The Fed) telah 5 kali menaikkan suku bunga acuannya sepanjang 2022 dengan total kenaikan 300 basisi poin atau 3 persen.
Bahkan, BI memprediski The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 4,5 persen dan tren kenaikan masih dapat terjadi di tahun depan menjadi 4,75 persen sehingga suku bunga acuan AS mencapai level tertingginya.
"Demikian juga kenaikan suku bunga terjadi di Eropa," tambah Perry.
ia melanjutkan, padahal kenaikan suku bunga acuan ini belum tentu dapat langsung menurunkan inflasi di negara-negara maju tersebut. Sebab, penyebab inflasi mereka bukan hanya disebabkan oleh permintaan tapi juga dari sisi pasokan.
"Inilah yang muncul risiko-risiko stagflasi, stagnansi inflasi, stagnansi pertumbuhan dan inflasi yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara termasuk juga probabilitas Amerika Serikat memasuki resesi itu juga meningkat, terakhir angkanya adalah 50 persen lebih tinggi dari perkiraan perkiraan sebelumnya," jelasnya.
4. Penguatan dollar AS
Kenaikan suku bunga acuan AS akan berimbas ke penguatan nilai tukar dollar AS yang sangat kuat sehingga mata uang lainnya menjadi terdepresiasi.
Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) tertinggi mencapai 114,76 pada tanggal 28 September 2022 dan tercatat 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mwngalami penguatan sebesar 18, 10 persen (ytd) selama 2022.
"Penguatan apresiasi nilai tukar yang sangat kuat, bahkan kalau dihitung dari tengah tahun lalu, penguatan dollar AS itu lebih tinggi dari 20 persen, hampir mencapai 25 persen. Ini menyebabkan pelemahan mata uang dunia termasuk juga tekanan-tekanan di emerging market di Indonesia," ucapnya.
5. Risiko persepsi investor
Menurut Perry, dalam kondisi yang serba tidak pasti ini ada kecenderungan investor untuk menarik dananya dari investasi domestik.
"Khususnya investasi portofolio dan menumpuknya di dalam tunai atau yang sering disebut cash is the king," Ujar Perry.