PARBOABOA, Jakarta - Salah satu fenomena yang menarik menjelang musim politik adalah munculnya buzzer.
Istilah ini umumnya mengacu pada sekelompok orang yang berperan mempengaruhi opini publik dengan tujuan tertentu.
Di Indonesia, fenomena buzzer menyedot perhatian masyarakat karena pengaruhnya yang signifikan di dunia maya.
Buzzer adalah individu atau layanan yang dibayar untuk mempromosikan, mengkampanyekan, atau menutupi sesuatu dengan tujuan tertentu di media sosial.
Istilah buzzer sering dikaitkan dengan isu politik karena buzzer digunakan dalam kampanye politik di media sosial.
Meski demikian, konsep buzzer sebenarnya sudah ada sejak lama dan juga digunakan dalam strategi pemasaran suatu merek.
Dalam konteks pemasaran, buzzer berperan penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang suatu merek di media sosial.
Berbagai platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Buzzer bekerja secara terorganisir dan seringkali didampingi oleh Key Opinion Leader (KOL) untuk menyukseskan kampanye.
KOL adalah akun atau individu dengan banyak pengikut di media sosial, seperti selebgram atau youtuber.
Mereka biasanya menggunakan tagar yang sama untuk membangun promosi.
Buzzer bertugas meningkatkan engagement dari opini yang disuarakan KOL, sehingga opini tersebut menjadi trending di media sosial.
Semakin trending opini yang disuarakan, maka semakin banyak audiens yang terjangkau.
Dampak Positif dan Negatif
Buzzer dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam meningkatkan brand awareness.
Dalam konteks bisnis, buzzer adalah alat yang efektif untuk komunikasi dan pemasaran di media sosial.
Dengan jasa buzzer, produk atau merek bisa menjadi viral sehingga pada gilirannya berdampak positif bagi penjualan dan permintaan.
Di sisi lain, buzzer juga bisa berdampak negatif jika digunakan untuk tujuan yang salah.
Misalnya, jika buzzer digunakan untuk menjatuhkan citra lawan politik di media sosial dengan menyebarkan opini yang tidak berdasar atau bahkan dibuat-buat.
Hal tersebut tentu sangat merugikan individu dan reputasinya di bidang politik.
Fenomena buzzer di media sosial Indonesia adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, buzzer bisa menjadi alat promosi dan pemasaran, namun di sisi lain, buzzer juga menjadi alat yang merugikan jika digunakan untuk tujuan negatif.
Buzzer Politik
Istilah buzzer pertama kali muncul di Indonesia pada 2009, bertepatan dengan kedatangan Twitter.
Kemunculan buzzer menandai awal mula peran penting media sosial dalam komunikasi digital di Indonesia.
Pada awalnya, buzzer dikenal sebagai individu atau akun yang dapat mengamplifikasi pesan dan membangun percakapan di media sosial untuk tujuan tertentu, seperti promosi perusahaan.
Peran buzzer mengalami perubahan signifikan pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Menurut Saraswati (2018), buzzer pada periode ini dibagi menjadi dua jenis, yakni buzzer yang tidak dibayar dan buzzer yang dibayar.
Buzzer yang tidak dibayar bertugas mendistribusikan pesan secara sukarela untuk mendukung kandidat tertentu.
Sementara buzzer yang dibayar bertugas untuk mendukung kelompok politik lain. Misalnya, akun Twitter @triomacan2000 digunakan untuk menyerang kehidupan pribadi salah satu kandidat.
Peran buzzer yang awalnya positif mulai bergeser menjadi negatif karena pesan-pesan mereka sering kali bersifat menyerang.
Penggunaan buzzer dalam kampanye politik bukan hanya terjadi di Indonesia.
Di Amerika Serikat, kemenangan Donald Trump pada pilpres 2016 turut didukung oleh buzzer.
Tugasnya adalah menyebarkan informasi provokatif dan memicu kebencian terhadap lawan Trump, yakni Hillary Clinton.
Sebelumnya, Barack Obama pada 2008 juga berhasil memanfaatkan media sosial untuk mengorganisir dan memobilisasi dukungan masyarakat dalam kampanye politiknya.
Strategi tersebut kemudian menginspirasi banyak politisi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Industri Buzzer di Indonesia
Industri buzzer di Indonesia terus berkembang setelah momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012.
Twitter menjadi platform utama yang digunakan untuk menyampaikan kampanye politik dan ujaran kebencian kepada lawan.
Sejak saat itu, publik mulai mengenal adanya istilah "perang status" atau "twitwar" untuk menyebut perang antara akun-akun di media sosial.
Fenomena ini kembali muncul pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, 2019, dan Pilkada DKI Jakarta 2017, dengan dua isu utama yakni politik identitas dan sentimen agama.
Seiring berjalannya waktu, peran buzzer semakin dianggap berbahaya bagi demokrasi.
Penelitian Felicia (2019) menyatakan buzzer dapat membentuk persepsi publik terhadap kandidat politik tertentu melalui hoax dan ujaran kebencian.
Mereka sering mengedepankan percakapan penuh amarah dan menjadi agen penyebar hoax yang dapat memecah belah masyarakat.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Syahputra (2017) mencatat bahwa buzzer di Indonesia lebih mengedepankan ujaran kebencian dan perdebatan yang tidak sehat untuk merusak tatanan sosial dan politik.
Kesimpulannya, peran buzzer dalam media sosial Indonesia telah berubah dari alat pemasaran menjadi senjata politik yang kontroversial.
Dengan pengaruh besar yang mereka miliki, maka publik perlu mengawasi dan mengatur penggunaan buzzer agar tidak merusak proses demokrasi dan memecah belah masyarakat.
Semua pihak harus berupaya memastikan bahwa media sosial digunakan secara positif dan konstruktif dalam kontestasi politik demi menjaga kesehatan demokrasi dan keutuhan sosial.