PARBOABOA, Jakarta - Isu anggaran kembali membayangi lembaga legislatif setelah muncul kabar kesalahan transfer dana reses bagi 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Peristiwa ini memicu sorotan publik terhadap transparansi pengelolaan dana rakyat yang dialokasikan untuk kegiatan penyerapan aspirasi di daerah pemilihan (dapil).
Deputi Bidang Administrasi Sekretariat Jenderal DPR, Rahmad Budiaji, mengakui bahwa pihaknya melakukan kesalahan teknis dalam perhitungan dana reses yang seharusnya diterima oleh setiap anggota dewan.
Ia menyebut, kekeliruan itu murni akibat kesalahan manusia dalam proses aritmetika administrasi.
Rahmad menegaskan, besaran dana reses yang berlaku tetap Rp702 juta per anggota DPR, sebagaimana ditetapkan sejak Mei 2025 melalui kesepakatan antara DPR dan pemerintah (Kementerian Keuangan).
Namun, pada awal Oktober, Setjen DPR secara keliru mentransfer dana sebesar Rp756 juta, atau kelebihan Rp54 juta dari jumlah semestinya.
Menurut Rahmad, kelebihan dana itu telah dikoreksi. Selain itu, kelebihan dana sebesar Rp54 juta telah dikembalikan ke kas negara melalui proses debit rekening masing-masing penerima.
Ia menepis anggapan bahwa tambahan dana tersebut berasal dari alokasi tunjangan rumah atau alat komunikasi anggota DPR, yang sebelumnya telah dibatalkan pasca demonstrasi besar-besaran pada Agustus 2025.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa kenaikan dana reses menjadi Rp702 juta per anggota DPR periode 2024–2029 disebabkan oleh bertambahnya jumlah titik kunjungan ke dapil dan peningkatan indeks kegiatan.
Menurutnya, keputusan itu baru diterapkan sejak Mei 2025, setelah empat bulan pertama tahun tersebut masih menggunakan anggaran lama sebesar Rp400 juta.
Ia juga menegaskan bahwa kesalahan transfer sebesar Rp756 juta bukan hasil kebijakan DPR, melainkan kekeliruan administratif Setjen DPR yang mengira penambahan dana telah disetujui.
Dasco menambahkan, usulan tambahan Rp54 juta sempat diajukan pada Agustus 2025 karena meningkatnya jumlah titik kunjungan, namun akhirnya dibatalkan menyusul gelombang protes masyarakat terhadap berbagai tunjangan anggota DPR, termasuk tunjangan rumah.
Setelah pembatalan itu, Setjen DPR masih sempat melakukan transfer dengan nominal yang belum diperbarui. Uang itu disebut akhirnya ditarik kembali agar tidak menimbulkan polemik.
Kegiatan reses sendiri, kata Dasco, tidak dilakukan setiap bulan. Dalam setahun, anggota DPR hanya menjalankan sekitar empat hingga lima kali masa reses, tergantung padatnya agenda parlemen.
Tergolong Besar
Meski DPR dan Setjen mengklaim masalah telah selesai, sorotan publik terhadap besarnya anggaran reses tetap mengemuka.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai, dana reses yang mencapai Rp702 juta per anggota masih tergolong besar dan membutuhkan pengawasan ketat agar tepat sasaran.
Peneliti FITRA, Siska Baringbing, menjelaskan bahwa dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) DPR tahun 2023–2025, total pagu anggaran untuk kegiatan reses mencapai sekitar Rp2,4 triliun per tahun.
Jika dibagi ke 580 anggota DPR, maka setiap anggota berpotensi menerima sekitar Rp4,2 miliar per tahun untuk empat jenis kegiatan, yakni kunjungan kerja di luar masa reses, kunjungan saat reses, kunjungan gabungan di masa sidang, serta pengelolaan rumah aspirasi.
FITRA menilai, dengan dana sebesar itu, seharusnya para anggota dewan mampu menyalurkan aspirasi masyarakat secara efektif di setiap dapilnya.
Transparansi penggunaan anggaran publik dinilai penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Selain itu, pengelolaan anggaran harus disertai akuntabilitas dan kehati-hatian administratif, agar tidak mencederai kepercayaan publik terhadap wakil rakyat di Senayan.