PARBOABOA, Jakarta - Akademi Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel Sastra 2025 kepada Laszlo Krasznahorkai, sastrawan asal Hungaria.
Sosok Krasznahorkai dikenal secara luas sebagai sastrawan dengan gaya penulisan panjang, intens, dan penuh renungan filosofis tentang kekacauan dunia modern.
Ia disebut sebagai penulis epik besar dalam tradisi Eropa Tengah, sejajar dengan nama-nama seperti Franz Kafka dan Thomas Bernhard, namun tetap memiliki suara yang sangat khas.
Dalam banyak karya, akademi menyebut gaya bahasa Krasznahorkai sangat melankolis, penuh absurditas, dan kadang terasa apokaliptik.
Akademi juga menilai karya-karyanya “memikat dan visioner, serta di tengah teror apokaliptik yang digambarkannya, ia menegaskan kembali kekuatan seni sebagai ruang untuk merenungkan kemanusiaan.”
Nada kontemplatif yang menyelimuti tulisannya dianggap sebagai jembatan antara warisan sastra Barat dan pengaruh spiritual Timur, terutama setelah pengalamannya berkelana ke Tiongkok dan Jepang.
Krasznahorkai, yang kini berusia 71 tahun, mengaku terkejut sekaligus bahagia menerima penghargaan prestisius itu.
Dalam wawancaranya dengan radio nasional Swedia, ia menyampaikan bahwa ini adalah hari pertama dirinya sebagai “seorang peraih Nobel”, sebuah perasaan yang ia sebut menenangkan sekaligus membuatnya gugup.
Penghargaan Nobel Sastra ini menjadikannya orang Hungaria kedua yang menerima kehormatan tersebut setelah mendiang Imre Kertész pada 2002, yang dikenal lewat novel Fatelessness.
Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orbán, turut menyampaikan ucapan selamat dan menyebut Krasznahorkai sebagai “kebanggaan dari Gyula dan simbol kejayaan sastra Hungaria.”
Krasznahorkai akan menerima medali emas, diploma, dan hadiah uang sebesar 11 juta krona Swedia (sekitar Rp19,3 miliar) dari Raja Carl XVI Gustaf di Stockholm pada 10 Desember mendatang, bertepatan dengan peringatan wafatnya pencipta Nobel, Alfred Nobel.
Penghargaan ini juga menandai upaya Akademi Swedia untuk memperluas cakupan sastra yang diakui dunia.
Setelah menghadapi krisis kredibilitas akibat skandal #MeToo pada 2018, lembaga ini berkomitmen memberikan penghargaan yang lebih inklusif dan berperspektif global.
Tahun lalu, penghargaan tersebut diberikan kepada Han Kang, penulis asal Korea Selatan sekaligus perempuan Asia pertama yang meraih Nobel Sastra.
Sejak 1901, hanya 18 perempuan dari 122 penerima yang berhasil mendapatkan Nobel Sastra. Hal ini disebut sebagai ketimpangan yang kini berusaha diperbaiki oleh Akademi.
Dalam setiap karyanya, Krasznahorkai menampilkan perpaduan antara keputusasaan dan keindahan, antara kehancuran dan harapan.
Ia menulis bukan untuk menghibur, tetapi menggugah kesadaran akan dunia yang terus bergulir menuju batas-batasnya sendiri. Seperti yang pernah ia katakan dalam sebuah wawancara, “Buku saya ditujukan bagi mereka yang mencari keindahan yang menyakitkan.”
Kini, melalui Nobel Sastra 2025, dunia kembali mengakui bahwa bahkan di tengah ketakutan akan akhir zaman, kata-kata masih memiliki kekuatan untuk menyelamatkan manusia dari keputusasaan
Sang Penulis Apokalips
Nama Krasznahorkai semakin dikenal luas saat karyanya berjudul Satantango diadaptasi menjadi film berdurasi lebih dari tujuh jam oleh sutradara Béla Tarr.
Film yang dikerjakan pada 1994 ini menjadi mahakarya sinema dunia yang menangkap kesunyian dan absurditas kehidupan pasca-komunisme.
Bersama Tarr, keduanya berhasil menerjemahkan kekacauan eksistensial dari halaman novel ke layar perak dengan intensitas yang luar biasa.
Setelah keruntuhan Tirai Besi, karya-karya Krasznahorkai menunjukkan perubahan nada di mana menjadi lebih kontemplatif dan lebih spiritual.
Novel Seiobo There Below (2008) menandai pergeseran itu, ketika ia mulai memadukan pandangan filsafat Timur, terutama Buddhisme, dengan permenungan estetika.
Ia juga banyak menulis tentang seni sebagai jalan manusia memahami keterbatasan dan kehilangan. “Keindahan memang ada,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
“Namun ia berdiri di balik batas yang tak bisa kita sentuh- kita hanya bisa menatapnya dari kejauhan dan tahu bahwa sesuatu yang lebih tinggi memang ada di sana.”
Dalam wawancaranya bersama penulis Hari Kunzru, Krasznahorkai menyinggung karya terbarunya An Angel Passed Above Us, yang berlatar perang Ukraina.
Ia menggambarkan dua prajurit yang sekarat di parit lumpur, salah satunya berusaha menenangkan temannya dengan cerita tentang masa depan yang indah berkat kemajuan teknologi global.
Bagi sang penulis, kisah ini adalah refleksi atas ironi zaman modern di mana dunia digital menjanjikan kemajuan luar biasa, sementara di saat yang sama manusia masih saling membunuh di medan perang.
“Kita mulai terbiasa dengan perang,” katanya getir. “Saya tidak bisa. Mungkin saya yang gila, tapi saya tidak bisa menerima bahwa manusia membunuh manusia.”
Ia juga mengkritik sikap pemerintah Hungaria yang bersikap “netral” terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Baginya, posisi itu tidak manusiawi dan hanya menunjukkan kepengecutan moral.
“Bagaimana mungkin kita netral ketika tetangga kita diserang dan dibunuh?” ujarnya. “Bangsa kami sendiri telah berkali-kali dijajah, termasuk oleh Rusia. Dan kini, mereka adalah Rusia yang sama.”
Krasznahorkai menolak pandangan bahwa apokalips adalah peristiwa tunggal seperti yang digambarkan dalam Kitab Wahyu. Baginya, “apokalips adalah proses panjang yang terus berlangsung.”
Ia melihat dunia modern sebagai masa penghakiman yang tak kunjung usai- sebuah keadaan di mana harapan selalu diarahkan ke masa depan yang tak pernah datang.
“Kita hanya punya masa kini,” katanya. “Surga dan neraka tidak ada di tempat lain-keduanya ada di bumi ini, sekarang.”
Dalam karya terbarunya Herscht 07769 (2021), ia memadukan musik Bach dengan kebangkitan neo-Nazi di Jerman, sehingga menciptakan refleksi mendalam tentang paradoks budaya dan moralitas manusia modern.
Sementara dalam War and War (1999) dan The World Goes On (2013), ia terus menguji batas-batas eksistensi, waktu, dan kesadaran manusia.
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapat banyak penghargaan, termasuk Kossuth Prize, penghargaan tertinggi dari pemerintah Hungaria, serta Man Booker International Prize 2015 untuk keseluruhan karyanya dalam terjemahan bahasa Inggris.
Dengan gaya penulisan yang menantang dan visi yang nyaris mistik, Krasznahorkai disebut oleh mendiang Susan Sontag sebagai “ahli apokalips kontemporer”—julukan yang kini melekat kuat dalam sejarah sastra dunia.
Di balik pandangan gelap tentang dunia, Krasznahorkai tetap meyakini bahwa seni adalah bentuk tertinggi dari harapan manusia.
Ia menulis bukan untuk memberi jawaban, melainkan untuk mengingatkan bahwa di tengah kehancuran dan absurditas, manusia masih bisa menemukan keindahan—meski hanya dengan menatapnya dari kejauhan.
Perjalanan Panjang
Krasznahorkai lahir di kota kecil Gyula, Hungaria Tenggara pada 1954 dan bertumbuh dalam lingkup keluarga Yahudi kelas menengah.
Ia mulai menulis di tengah rezim komunis dan mendapatkan inspirasi dari pergulatan masyarakat yang terkungkung sistem politik represif.
Pengalaman hidup dalam sistem yang mengekang inilah yang kemudian membentuk atmosfer menyesakkan dalam karya-karya awalnya, seperti Satantango (1985) dan The Melancholy of Resistance (1989).
Kedua novel ini menggambarkan kehancuran sosial dan spiritual di desa-desa Hungaria yang terperangkap dalam absurditas dan kebusukan moral.
Meski terkenal dengan gaya yang “berat”, novel-novelnya bukan sekadar gambaran penderitaan. Kalimat-kalimatnya panjang dan berliku, nyaris tanpa jeda, mengalir seperti arus kesadaran yang tak berhenti mencari makna.
Ia pernah mengatakan bahwa titik akhir dalam kalimat “adalah milik Tuhan,” karena hidup manusia tidak pernah benar-benar berhenti pada satu kesimpulan.
Dalam pandangannya, bahasa adalah arus kemanusiaan yang terus bergerak, menyingkap rasa ingin tahu tanpa batas tentang dunia.
Setelah pindah ke Berlin Barat pada 1987 untuk mengikuti program beasiswa, ia mulai mengembangkan karya-karya yang menggabungkan realitas sosial dengan absurditas eksistensial.
Nama Krasznahorkai melejit lewat novel debutnya Satantango (1985), yang menggambarkan kehidupan muram sebuah desa di era komunis Hungaria.
Novel dengan struktur unik—setiap bab hanya terdiri dari satu paragraf panjang—menjadi simbol keberanian naratifnya.
Penerjemah George Szirtes, pernah menyebut Krasznahorkai sebagai “penulis yang mampu menenggelamkan pembaca dalam dunia ciptaannya hingga batas antara realitas dan imajinasi menjadi kabur.”
Kritik sastra ternama seperti Susan Sontag bahkan menjulukinya sebagai “ahli apokalips Hungaria kontemporer” yang setara dengan Gogol dan Melville.
Novel-novel lain seperti War and War (1999) memperkuat reputasinya sebagai penulis yang tak hanya menulis tentang kehancuran, tetapi juga tentang pencarian makna di tengah keterpurukan manusia modern.
Kritik dari majalah New Yorker menyebut membaca karya Krasznahorkai sebagai “pengalaman paling mengusik” dalam perjalanan seorang pembaca.
Dengan gaya kalimat berliku, panjang, dan jarang berhenti, Krasznahorkai menciptakan dunia sastra yang menantang, namun penuh keindahan liris.