PARBOABOA, Pematang Siantar - Ratusan warga Gurilla, Pematang Siantar yang digusur PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III dari tanah bermukimnya selama 18 tahun menunggu kepastian dana suguh hati. Mereka dijanjikan akan diberikan sejumlah uang dengan nominal yang samar.
Warga yang ditemui PARBOABOA di Kelurahan Gurilla Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematang Siantar, P Simanjuntak menjadi salah satu penerima dana suguh hati. Dia memilih menyerah dengan keadaan dan mengikuti permintaan perusahaan untuk angkat kaki dari rumah yang sudah ditempatinya selama belasan tahun.
Dikatakan Simanjuntak, sejumlah dokumen kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK) dan foto lahan yang dikelolanya menjadi kebun sudah diserahkannya. Dia sendiri hingga sekarang tidak tahu berapa angka pasti yang akan diberikan perusahaan kepadanya, namun pihak PTPN III berjanji akan menghitung sesuai dengan jumlah pohon ditanam.
“Empat hari lalu kita sudah serahkan ke PTPN III dokumen yang mereka minta, termasuk foto lahan, tapi foto lahannya sudah rata dengan tanah, karena ga sempat kami foto pohon yang masih berdiri,” ucap Simanjuntak, Selasa (25/2022).
Simanjuntak berharap, agar PTPN III memberikan uang suguh hati sesuai dengan kepantasan.
“Harapannya ya sesuai janji PTPN III, ganti rugi tanaman yang rusak itu. Kami sudah kasih data tanaman apa saja, dan jumlah tanaman yang rusak,” kata Simanjuntak.
Sementara itu, saat ini ada banyak warga yang memilih bertahan dan enggan angkat kaki dari tanah yang sudah mereka kelola selama belasan tahun. Sitio salah satunya, dia hingga sekarang masih tinggal di rumahnya dan menolak bujukan pemberian suguh hati.
“Suguh hati itu adalah pembohongan kepada warga,” ungkap Sitio.
Sitio mengaku telah bermukim dan mencari nafkah di Kelurahan Gurilla selama 18 tahun. Di situ juga banyak bangunan sudah berdiri, mulai dari rumah tinggal hingga tempat ibadah, termasuk infrastruktur jalan yang diperbaiki.
Warga yang memilih bertahan memperjuangkan tanah tersebut mengungkapkan kekesalan mereka atas tindakan PTPN III yang dianggap sepihak, karena meratakan lahan tanpa adanya pemberitahuan.
Untuk menuntut keinginan mereka, sampai hari ini, warga masih melakukan aksi unjuk rasa menolak kebijakan pemerintah tersebut. Pada Selasa, (25/10), ada puluhan masyarakat turun ke jalan menggelar protes di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pematang Siantar, namun tidak ada satupun anggota dewan yang menemui mereka.
Massa kemudian bergeser ke gedung Pemerintah Kota (Pemko) Pematang Siantar. Di sini massa aksi yang berharap bertemu Wali Kota, Susanti Dewayani sirna. Hanya Asisten III, Pardamean Silaen yang menemui pengunjuk rasa.
“Saat ini, ibu Susanti sedang berada tugas di luar. Jadi, aspirasi akan kami sampaikan kepada ibu wali kota, tapi semuanya kan butuh proses,” tutur Pardamean.
Asisten Personalia Kebun (APK) PTPN III, Joni Manurung saat dikonfirmasi menjelaskan, jika pihaknya memberikan tenggang waktu ke warga melakukan pendaftaran suguh hati. Dokumen yang wajib dilampirkan berupa KTP, KK dan surat pernyataan.
Disebutkan Joni, hingga saat ini sudah sekitar 130 warga yang mendaftar. Mereka juga wajib membuat surat pernyataan isinya bahwa lahan tersebut merupakan hak guna usaha (HGU) PTPN III dan telah mengusahai serta menguasai areal.
“Kemudian berjanji apabila ada pihak lain yang mengklaim objek yang sama, maka yang akan dituntut secara hukum adalah yang bersangkutan dan membebaskan PTPN III dari segala bentuk tuntutan hukum,” jelas Joni kepada Parboaboa di Posko suguh hati, Selasa (25/10).
Joni berharap kepada warga untuk datang ke posko sebelum posko pendaftaran suguh hati ditutup, karena jika sudah lewat dari masa itu, mereka akan mengerahkan personil untuk membersihkan areal.
“Dan akan ada upaya-upaya paksa,” tambahnya.
Joni menyebut, pada Selasa (25/10) pihaknya akan membagikan suguh hati kepada 23 warga yang telah mendaftarkan diri pada 18 Oktober 2022. Mereka rata-rata memilih tanah sekaligus bangunan. Adapun total anggaran yang dikeluarkan sebesar Rp630 juta.
“Dan hari ini kita sama-sama menyaksikan kegiatan pembongkaran secara simbolis terhadap bangunan yang dimiliki, yang dilakukan masyarakat sendiri, jadi hal ini menunjukkan tidak ada unsur paksaan dari pihak perusahaan,” tandasnya.