Dilema Ekspor Benih Lobster: Penindakan Penyelundupan atau Keberlanjutan Sumber Daya?

Dilema kebijakan ekspor benih lobster di Indonesia. (Foto: kkp.go.id)

PARBOABOA, Jakarta - Kebijakan pelarangan ekspor benih lobster di Indonesia memunculkan kekhawatiran baru, yakni terbukanya celah bagi praktik penyelundupan hasil laut tersebut ke negara-negara tetangga. 

Kondisi ini tentu saja menambah tantangan bagi pihak berwenang dalam menjaga kekayaan laut agar tidak dieksploitasi secara ilegal.

Buktinya, tim gabungan dari Bareskrim Polri, Kantor Wilayah Khusus DJBC Kepulauan Riau, dan Lantamal IV Batam baru saja berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 237.305 benih bening lobster (BBL) dengan nilai mencapai Rp 23,6 miliar. 

Pengungkapan kasus ini menunjukkan tingginya nilai ekonomi dan risiko besar yang mengiringi perdagangan ilegal BBL.

Menurut Brigjen Pol Nunung Syaifuddin, Dirtipidter Bareskrim Polri, ratusan ribu BBL yang telah dipaket rapi itu diangkut menggunakan kapal cepat atau high-speed craft (HSC). 

Benih lobster tersebut diduga berasal dari sejumlah wilayah, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Sumatra Barat, dan Lampung. Dalam skema penyelundupannya, pelaku merencanakan distribusi darat melalui jalur Sumatra Selatan, Jambi, hingga Riau.

Polisi kini telah mengamankan 46 kotak styrofoam berisi total 237.305 ekor BBL dan satu unit kapal HSC yang digunakan dalam operasi tersebut. Sementara itu, pengemudi kapal masih dalam pengejaran dan pembeli yang teridentifikasi berada di luar negeri sedang diselidiki.

Benih lobster yang telah diamankan tersebut, kata Nunung, "telah dilepasliarkan pada 15 Oktober 2024 di perairan Anak Kanipan Batu, Kabupaten Karimun."

Di sisi lain, pelaku akan dijerat dengan Pasal 88 jo Pasal 16 Ayat (1) dan/atau Pasal 92 jo Pasal 26 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang telah diubah melalui UU Nomor 45 Tahun 2009 dan terakhir disesuaikan dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja.

"Diancam dengan pasal terkait penyelundupan perikanan dengan ancaman pidana 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1,5 miliar," pungkasnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, salah satu negara tujuan ekspor BBL ilegal adalah Vietnam.

Pasalnya, meski Indonesia melarang ekspor, budidaya lobster di negara tersebut masih berkembang. Kata dia, 100 persen bibit budidaya lobster itu berasal dari Indonesia.

"Yang aneh, meski kita sudah tutup melalui Permen No 17, tetapi kok di sana produksinya jalan terus," kata Sakti.

Menyikapi praktik ilegal ini, pemerintah, tegasnya berencana membuka kembali ekspor BBL, termasuk akan menjalin kerja sama dengan Vietnam.

Apalagi, Presiden Jokowi dalam lawatannya ke Vietnam beberapa waktu lalu, telah mengajak pemerintah Negeri Naga Biru untuk berkolaborasi.

Menurut Sakti, kemitraan ini nantinya akan membawa prospek cerah dalam mengikutsertakan Indonesia ke pusaran global supply chain atau rantai pasok lobster dunia.

"Jangan kamu aja dong yang nikmati. bagaimana kalau kita saling kerjasama, salah satunya itu dengan mengundang mereka untuk investasi di sini," tegasnya.

Sakti menyampaikan hal itu tak lama setelah Dirjen Perikanan Budidaya KKP, Tb Haeru Rahayu, mengungkapkan bahwa potensi ekspor benih lobster cukup besar. 

Menurut Haeru, potensi ini bisa mencapai miliaran dolar, tetapi belum berkontribusi maksimal pada pendapatan negara dan sektor budidaya. Oleh karena itu, KKP berencana menggabungkan budidaya dan ekspor agar manfaat ekonomi dan teknologi bisa berjalan seimbang.

Salah satu langkah yang diambil adalah mengundang investor dari Vietnam untuk terlibat dalam budidaya lobster di Indonesia. 

Namun, rencana ekspor tersebut bukan tanpa tantangan. Saat ini, KKP sedang berdiskusi dengan para nelayan untuk memastikan kesepakatan terkait rencana tersebut, termasuk menentukan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Selain itu, pemerintah juga perlu merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) agar kebijakan ini bisa diimplementasikan dengan lancar.

Haeru menyebutkan bahwa KKP berupaya menciptakan solusi yang menguntungkan semua pihak dengan mendengarkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan dan asosiasi terkait. Pemerintah berharap revisi regulasi dapat segera selesai dan mendapat dukungan dari para pihak yang terlibat.

Dalam keterangan terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, menilai bahwa alasan penyelundupan dijadikan dasar untuk membuka ekspor tidak mencerminkan logika yang tepat dari KKP.

Ia berpendapat, kebijakan ekspor justru akan semakin merugikan negara, terutama di tengah kondisi eksploitasi lobster lokal yang masih berlangsung. 

Abdul merujuk pada kajian Komnas Pengkajian Sumberdaya Ikan (Komjiskan) yang menunjukkan stok lobster di beberapa wilayah perikanan sudah berada pada tingkat eksploitasi yang berlebihan.

Semestinya, kata dia, hasil kajian Komjiskan tersebut, dapat menjadi panduan bagi KKP dalam membuat sebuah kebijakan yang sejalan dengan "spirit keberlanjutan sumber daya perikanan dan kesejahteraan pembudidaya lobster dalam negeri."

Alih-alih membuka ekspor, pemerintah seharusnya fokus menindak tegas para penyelundup benih lobster. Selain itu, diperlukan perbaikan dalam usaha budidaya lobster di dalam negeri, disertai pendampingan bagi masyarakat pesisir agar memahami manfaat budidaya lobster lokal.

Pemerintah juga bisa memberikan insentif kepada pembudidaya yang berhasil mengembangkan usahanya.

Menurut Abdul, penyelundupan terjadi karena kurangnya peta jalan dari KKP mengenai target dan arah budidaya lobster, yang membuat pemerintah daerah kesulitan. Akibatnya, sektor budidaya kerap mengalami kendala karena tidak ada keterhubungan antara produksi dan distribusi.

Kondisi ini, lanjutnya, mendorong pembudidaya yang sebenarnya ingin berkembang di dalam negeri beralih menjadi penangkap benih lobster untuk dijual ke negara lain.

Senada, Kepala Center of Industry Trade and Investment Indef, Andry Satrio Nugroho, menekankan bahwa adanya penyelundupan ke Vietnam tidak bisa dijadikan alasan untuk membuka ekspor. Menurutnya, kebijakan tersebut justru akan merugikan Indonesia dari berbagai aspek.

Kerugian pertama muncul karena nilai jual benih lobster jauh lebih rendah dibanding lobster dewasa. 

Selain itu, ekspor dapat mengurangi suplai lobster di dalam negeri, yang pada akhirnya memaksa para produsen "menaikkan harga jual ke restoran dan tempat makan karena keterbatasan stok."

Andry juga menyoroti pentingnya koordinasi KKP dengan otoritas di Vietnam dalam menghadapi penyelundupan, karena hal tersebut sudah masuk dalam kategori Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) Fishing, yang merupakan kejahatan internasional. 

Fokus utama, menurutnya, harus pada penindakan kejahatan ini, bukan dengan membuka ekspor, "karena itu sama saja dengan melegalkan praktik ilegal tersebut."

Untuk diketahui, larangan ekspor benih lobster pertama kali diberlakukan pada 2016 oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti melalui Permen Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster.

Namun, pada 2020, kebijakan ini diubah oleh Edhy Prabowo, yang membuka kembali ekspor benih lobster. Kebijakan tersebut berujung pada kasus korupsi, dan Edhy divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena terbukti menerima suap sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir terkait izin ekspor dan budidaya lobster.

Larangan ekspor kemudian diberlakukan kembali oleh Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono melalui Permen Nomor 17 Tahun 2021, yang mengatur pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di Indonesia. 

Meski demikian, pemerintah kini kembali mempertimbangkan ekspor benih lobster dengan alasan untuk mengatasi masalah penyelundupan yang terus terjadi.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS