PARBOABOA, Medan - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pematang Siantar memakzulkan atau memberhentikan Wali Kota Pematang Siantar Susanti Dewayani, dalam rapat paripurna, Senin (20/3/2023) lalu. Sebanyak 27 dari 30 anggota DPRD setuju dengan keputusan tersebut.
Ketua DPRD Pematang Siantar, Timbul Lingga menyatakan, dalam putusan hasil rapat Paripurna DPRD berpendapat bahwa Susanti Dewayani telah melakukan pelanggaran terhadap sembilan peraturan yang salah satunya Perundang-undangan No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Lantas, setelah DPRD Pematang Siantar mengusulkan untuk memberhentikan Susanti Dewayani tersebut, bagaimana proses selanjutnya?
Menilik Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 80 ayat 1 (a) menyebutkan pemberhentian kepala daerah berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD.
"Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau melakukan perbuatan tercela," bunyi isi pasal tersebut.
Dalam Pasal 80 ayat 1 (c) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 Hari setelah permintaan DPRD diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
Selanjutnya, dalam Pasal 80 ayat 1 (d) menerangkan apabila Mahkamah Agung memutuskan kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban maka pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota;
"Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau melakukan perbuatan tercela, pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur dan kepada Menteri untuk pemberhentian bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota," jelas bunyi pasal tersebut.
Pasal 80 ayat 1 (f) menyebutkan menteri dalam negeri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat 30 hari sejak Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD.
"Menteri wajib memberhentikan bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Menteri menerima usul pemberhentian tersebut dari pimpinan DPRD," bunyi isi pasal tersebut.
Merujuk dengan pernyataan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi yang menyebutkan bahwa menteri dalam negeri (mendagri) menentukan terkait pemberhentian kepala daerah dalam hal ini Wali Kota Pematang Siantar, bila diartikan memiliki kewenangan memutuskan memberhentikan tentu keliru.
"Undang-undangnya menyatakan itu memang ada hak DPR, oke. Tapi kan nanti diajukan proses itu, kalau setingkat bupati, wali kota, nanti gubernur yang menangani hal itu kita ajukan (ke Mendagri) kalau memang iya, nanti yang menentukan menteri dalam negeri," jelas Edy.
Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, jelas disebutkan bahwa Mahkamah Agung memutuskan pemberhentian kepala daerah atau tidak. Putusan Mahkamah Agung ini wajib dipatuhi semua pihak.
Usulan DPRD Masih Diuji Mahkamah Agung
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Dr Mirza Nasution menyampaikan usulan DPRD yang memakzulkan kepala daerah belum memiliki kekuatan hukum sampai akhirnya diuji Mahkamah Agung.
"Bukan langsung ujuk-ujuk diberhentikan," katanya kepada Parboaboa, Kamis (23/3/2023).
Mirza menjelaskan dari hasil putusan Mahkamah Agung ini lalu disampaikan ke pemerintah pusat melalui Mendagri. Putusan hukum Mahkamah Agung wajib dipatuhi pemerintah.
"Mendagri sebagai pembina, pengawasan pemerintahan daerah, hubungan pusat dan daerah ada di kementerian dalam negeri. Mendagri nanti selanjutnya yang memprosesnya sebagai pihak yang membina pemerintahan dalam negeri kita," pungkasnya.