Dunia Punk: Jalan Pembebasan Diri dari Pengekangan Aturan

Menyelami dunia Punk, dari Inggris ke Pematangsiantar (Foto: PARBOABOA/Rizal Tanjung)

PARBOABOA, Pematangsiantar– Namanya Fadli Harahap (37). Ia jatuh cinta dengan dunia punk dikala masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Sejak kecil, Fadli mulai diam-diam memperhatikan para punker yang sering berkumpul di Jl. Diponegoro, Lapangan Merdeka, dan kantor POS Pematangsiantar.

"Punk hadir di kota ini pada tahun 1996. Saat itu saya masih SD. Punk hadir bersamaan dengan musik metal," katanya kepada Parboaboa.

Ketika itu, Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru (Orba), yang penuh dengan larangan, termasuk larangan bagi anak-anak muda untuk berkumpul, bertato, dan berambut panjang.

Kehadiran punker pada masa itu menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas.

Melalui musik dan fesyen, punk menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk mengekspresikan diri tanpa takut terhadap tekanan sosial.

Tahun 2004, Fadli semakin mencintai budaya punk dan tertarik dengan fesyen, musik, serta pemikiran punk yang bebas dan berani.

Baginya, punk bukan hanya sekedar gaya hidup atau musik, melainkan juga sebuah gerakan untuk kritik terhadap ketidakadilan dalam sistem.

Fesyen Punk

Fesyen punk bagi Fadli mencerminkan perlawanan dan pembebasan diri. 

"Pernahkah kita bertanya, mengapa laki-laki tidak boleh berambut panjang, sementara perempuan boleh?" ujarnya.

Menurutnya, banyak aturan yang sebenarnya tidak memiliki alasan pasti, dan dari sinilah lahir perlawanan terhadap norma-norma tersebut.

Para punker menciptakan model rambut gondrong di tengah, dikenal sebagai mohawk, sebagai bentuk perlawanan.

Model rambut ini juga terinspirasi oleh kostum tentara Romawi yang berani bertarung dengan helm berambut tegak di tengah.

"Banyak peraturan-peraturan yang ada, padahal sebenarnya di dalam diri kita menolaknya," tambahnya.

Bagi punk, hukum ada karena manusia memahami apa yang baik dan buruk, bukan sebaliknya.

Melalui fesyen, seorang punker memerdekakan dirinya dari berbagai aturan yang mengekang, khususnya cara berpakaian.

Meski demikian, fesyen rambut mohawk tidak lagi diharuskan.

Fadli mengatakan, jika seseorang memahami kemerdekaan dirinya, sejatinya dia sudah punk meski tanpa rambut mohawk.

Pemikiran dan Musik Indie

Punk meyakini bahwa setiap manusia terlahir sama dan memiliki potensi anarkis.

Mereka menolak negara sebagai institusi pembangun hierarki, menganggap negara dan struktur kekuasaan membangun ketidakadilan dan penindasan.

Bagi punker, hidup dalam komunitas punk adalah cara untuk mewujudkan dunia yang bebas dari penindasan dengan nilai utama solidaritas dan kesetaraan.

"Punk itu anti-politik dalam arti tertentu. Kita sadar, politik itu tujuannya bagus. Hanya saja, kita tidak suka jika politik digunakan untuk yang tidak baik," jelas Fadli.

Punk tidak ingin terjerumus dalam arus kapitalisme yang hanya menuntut orang untuk mengejar kemapanan materi.

Mereka yakin akan merasakan kedamaian hidup yang autentik dengan menjauhkan diri dari tekanan konsumsi dan kompetisi materialistis.

Punk juga sangat dekat dengan musik indie.

Istilah musik indie berawal dari gerakan punk yang memproduksi musiknya secara mandiri karena ditolak oleh perusahaan rekaman besar.

Mereka menciptakan label rekaman kecil dan mendistribusikan lagu mereka melalui jaringan "underground".

 Keberanian untuk melawan arus dan menciptakan musik tanpa kompromi menjadi cikal bakal dari istilah "indie".

Lahir di Inggris

Pada era 1970-an di Inggris, sejumlah buruh kecewa dengan penurunan moral pemerintah dan keterpurukan ekonomi.

Mereka kemudian membentuk gerakan menolak kapitalisme yang kemudian dikenal sebagai PUNK (Public United Nothing Kingdom).

Gerakan ini dipengaruhi oleh anarkisme yang menekankan pembebasan dari kapitalisme.

Di tengah peradaban yang bergantung pada kapitalisme, gaya hidup dan pola pikir punk dianggap tidak lazim, menyebabkan mereka sering mengalami penolakan sosial.

Para punker mengembangkan etika DIY (Do-It-Yourself) untuk menegaskan kemandirian dan menyebarkan ideologi mereka melalui musik dan fesyen.

Musik punk dikenal dengan irama cepat dan lirik berisi pesan politik yang kuat.

Sedangkan fesyen punk mencerminkan perlawanan dengan atribut berbeda dari norma yang berlaku.

Komunitas Punk di Pematangsiantar

Di Pematangsiantar, punk sering menghadapi penolakan sosial akibat kesalahpahaman tentang identitas mereka.

Mereka sering dianggap sebagai sosok mencurigakan atau terlibat dalam tindakan kriminal hanya karena penampilan mereka yang berbeda.

"Kita dituduh jahat itu sudah biasa, dan kita tidak lari. Punk itu diam saja salah, tidak berbuat salah tetap disalahkan, apalagi berbuat salah," kata Fadli.

Fadli menjelaskan bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapa saja.

Punk mengekspresikan kebebasan dalam arti tertentu yang bisa ditemukan di berbagai tempat, termasuk di jalanan.

Di jalanan, tidak hanya ada punk, tetapi juga tunawisma, orang depresi, dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

"Jika ada seseorang yang melakukan kejahatan di jalanan, sudah pasti dikeluarkan dari punk," tambahnya.

Sejak awal hadir di Pematangsiantar, beragam kreativitas telah menjadi bagian penting bagi dunia punk.

Mereka membuat berbagai kerajinan tangan yang kemudian dijual, serta berdagang fesyen, “dari punk untuk punk”.

Begitu pula dengan musik, para punker bermusik untuk menghibur diri dan melatih mental di hadapan khalayak umum.

Sejak tahun 2018, punker di Pematangsiantar setiap tahun berbagi takjil saat Ramadhan.

Saat ini, punk di Pematangsiantar yang masih sering berkumpul terdiri dari 15 orang, biasanya di Jl. Vihara.

Dahulu jumlahnya lebih banyak, tetapi seiring waktu banyak yang berumah tangga dan memiliki kegiatan lain.

Fadli mengaku, punk di Pematangsiantar sudah dianggap besar di luar kota.

Eksistensi Punk

Ahli Humaniora, Surya Adi Sahfutra, mengungkap bahwa punk merupakan salah satu contoh wujud dari totalitas ideologi dalam melawan sistem yang sudah mapan, seperti kapitalisme.

"Karena totalitas, maka gerakannya juga 'anti mainstream'. Sehingga resikonya, orang awam melihatnya aneh dan kemudian stigmatisasi," katanya.

Dosen Filsafat ini menjelaskan, jika melihatnya secara ideologis dan prinsip, metode gerakan punk bisa dimaknai sebagai kritik terhadap kapitalisme dan turunannya.

Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah kritik ini masih relevan?

"Dalam konteks pertarungan ideologis, ini masih sangat relevan, karena ideologi mana yang hari ini masih bertahan untuk melawan kapitalisme? Agama? Sudah muncul paradigma kapitalisme religius," jelasnya.

Dari perspektif sosiologis, punk sebagai gerakan sosial mengalami kesulitan berkembang di Indonesia karena tampak termasuk bagian dari gerakan yang dilarang.

Namun, sebagai budaya populer, punk sejauh ini sudah menjadi hal yang biasa.

"Hanya saja, masyarakat tidak banyak yang bisa langsung menangkap pesan yang mereka bawa, mau itu di musik dan fesyen," tutup Surya.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS