PARBOABOA, Jakarta - Hasil riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menunjukkan moderasi beragama di sejumlah lembaga dapat diterima tanpa penolakan, baik dari segi pemaknaan maupun praktik kelembagaan.
Riset terkait praktik moderasi beragama di masyarakat itu fokus pada tiga lembaga publik yakni SMA Negeri 53 Jakarta, Bank Syariah Indonesia (BSI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan MAN Insan Cendekia Sumatra Barat.
“Terdapat kesadaran dari para responden untuk tidak mudah mengafirkan, meyakini bahwa mayoritas tidak sepatutnya bersikap mentang-mentang dengan mengucilkan minoritas, kesadaran untuk saling menghormati keyakinan agama, dan tidak membuat sekat berdasarkan agama dalam relasi sosial," ujar Iqbal Ahnaf, Ketua Tim Peneliti INFID saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Riset INFID juga menemukan adanya keselarasan antara praktik kebijakan dan kebudayaan yang ada di empat lembaga dengan indikator moderasi beragama dari Kementerian Agama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal.
Selain itu, penelitian ini tidak menemukan praktik diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim. Sebaliknya, ditemukan banyak praktik terkait dengan kepemimpinan perempuan dan non-muslim.
Iqbal menjelaskan, riset ini juga tidak menemukan kebijakan pemaksaan pakaian berdasarkan keyakinan agama, khususnya di lembaga yang tidak berbasis agama.
Program Officer Promoting Tolerance & Respect for Diversity INFID, Rizka Antika mencontohkan di BSI dan PLN, praktik moderasi beragama secara substantif diterapkan dalam nilai kerja perusahaan (corporate core values) dan sejumlah langkah strategis lain untuk mencegah ekstremisme.
“Di PLN melakukan sentralisasi pengelolaan rumah ibadah, kode etik penceramah keagamaan dan pengelolaan bantuan sosial. Di BSI kebijakan dress code yang membatasi pilihan mode berpakaian menjadi salah satu langkah instrumental dalam memperkuat moderasi beragama," ungkapnya.
Di lingkungan sekolah negeri, lanjut Rizka, praktik moderasi beragama diterapkan secara sistemik dan terbatas.
Salah satu sekolah yang bisa menjadi contoh best practice moderasi beragama tanpa menggunakan label moderasi beragama ada di SMAN 53 Jakarta. Di sekolah ini, nilai-nilai moderasi beragama seperti toleransi, antikekerasan, dan nasionalisme terlihat pada kultur dan program-program sekolah. Program sekolah itu ialah profil pelajar Pancasila, budaya sekolah damai, pluralitas agama dan gender.
Salah seorang murid SMAN 53, Nadrifa memberikan testimoni terkait moderasi beragama di sekolahnya.
"Di sekolah saya tidak ada batasan bagi siswa yang beragama apa pun. Pemilihan kepala sekolah dan OSIS misalnya, tidak terkait dengan agama apa pun. Semuanya diperlakukan sama," jelas Nadrifa.
Selain itu, guru di SMA 53 selalu menekankan toleransi agama.
"Mereka selalu mendoktrin bahwa toleransi beragama sangat penting, otomatis siswa bersikap toleransi," ungkap Nadrifa.
Sementara di MAN Insan Cendekia, praktik moderasi beragama lebih bersifat formal dan menekankan pada aspek ubudiyah. Di sekolah itu, moderasi beragama dipraktikkan dengan kegiatan seminar penguatan moderasi beragama setahun sekali, mengirim delegasi untuk mengikuti kegiatan pelatihan moderasi beragama di luar sekolah dan penunjukkan Duta Moderasi Beragama.
Riset INDIF menggunakan metode kualitatif yang dilakukan pada periode Januari-Maret 2023. Data diambil melalui wawancara terhadap 51 responden (21 perempuan dan 30 laki-laki) dari tingkat pimpinan tertinggi (direksi dan kepala sekolah), pimpinan unit (kepala bidang dan guru), konstituen (pegawai dan siswa), serta ahli.
Data juga diambil melalui observasi terhadap lingkungan di keempat lembaga tersebut, termasuk pusat-pusat kegiatan sosial keagamaan.
Sebelumnya, moderasi beragama merupakan program prioritas pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Bahkan Kementerian Agama RI menggelontorkan dana Rp3,2 triliun di 2022 untuk penguatan moderasi beragama tersebut.
Moderasi Beragama Jangan Sampai Memberangus Demokrasi
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia), Ika Ningtyas menekankan moderasi bergama jangan sampai memberangus nilai-nilai demokrasi.
"Jangan sampai gagasan moderasi beragama melemahkan demokrasi," ujar Ika dalam tanggapannya saat konferensi pers.
Ika mencontohkan, pemerintah seolah menggunakan dalih kebangsaan dan penangkalan radikalisme untuk membubarkan organisasi masyarakat (ormas) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) tanpa putusan pengadilan yang jelas. Padahal, UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berserikat, termasuk membentuk ormas.
"Kita boleh tidak sepakat dengan FPI dan HTI, tapi kebijakan pembubaran organisasi ini harus dilakukan melalui pengadilan. Jadi, jangan karena moderasi beragama kita mengingkari semangat demokrasi. Jangan juga kebijakan-kebijakan yang dilebalkan sebagai moderasi beragama menjadi alat kekuasaan," jelas Ika.
HTI dibubarkan pemerintah pada 2017 karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. Proses pembubarannya tidak melalui pengadilan, melainkan hanya berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM. Sementara FPI dibubarkan pada 2020 karena dianggap kerap melakukan kegiatan yang melanggar hukum seperti razia secara sepihak. Pembubaran FPI juga tidak melalui proses pengadilan. Pemerintah langsung menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) enam lembaga, di antaranya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri, Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).