PARBOABOA, Medan – FIFA resmi mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 pada Rabu malam (29/03/2023) waktu Indonesia. Pengumuman tersebut secara resmi dirilis lewat unggahan di laman resminya pasca Presiden FIFA bertemu dengan Ketua PSSI di Doha, Qatar, Rabu (29/03/2023).
Batalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 yang harusnya digelar 20 Mei hingga 11 Juni 2023, memicu beragam reaksi dari berbagai kalangan termasuk Pengamat Sepak Bola dari Sumatra Utara (Sumut), Rahmad Nur Lubis.
Saat dihubungi via seluler, Rahmad Nur Lubis mengatakan, FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 disebabkan buntut dari tragedi Kanjuruhan.
“Semoga ini bisa membuat kita lebih menghargai nyawa di (tragedi) Kanjuruhan dengan mendorong kasus hukumnya, karena saya lihat, FIFA menjadikan penanganan hukum Kanjuruhan itu sebagai penyebab,” katanya kepada Parboaboa, Kamis (30/03/2023).
Ia juga mengatakan, FIFA tidak akan mencabut pernyataan resminya tentang pembatalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Disebutkannya juga, keikutsertaan Israel di ajang Piala Dunia U-20 wajar saja menuai penolakan, karena dalam segala hal tentu saja ada yang pro kontra. Rahmad dalam hal ini menyoroti bukan itu yang menjadi persoalan utama, melainkan tragedi Kanjuruhan.
“Jadi saya melihatnya, FIFA bukan menanggapi soal pro kontra ikut sertanya Israel, akan tetapi lebih kepada ketidakyakinan keamanan tim-tim lain terutama Israel tentunya. Maka itu, FIFA dalam suratnya merujuk kepada penanganan Kanjuruhan sebagai alasan,” sambungnya.
Dicetuskannya juga, pembatalan ini bukan bentuk dari mimpi buruk Indonesia.
“Ini bukan mimpi buruk karena pengelolaan sepak bola di negara kita saja masih buruk. Mimpi buruk itu adalah 135 nyawa melayang dan hingga hari ini tidak jelas penanganan hukumnya,” cetusnya.
Kala itu, dilanjutkan Rahmad, Inggris pernah meminta untuk mengasingkan diri dari dunia sepak bola saat tragedi Heysel tahun 1985. Hal itu bertujuan supaya negara tersebut dapat berbenah secara internal sebelum bertanding kembali.
“Kita apa yang dilakukan pasca tragedi Kanjuruhan? Yang ada pelakunya malah bebas, lalu tetap ngotot jadi tuan rumah event sepak bola dunia,” ujarnya.
Ia mengklaim, saat ini PSSI dijadikan sebagai alat politik, sehingga tampaknya sulit untuk memperbaiki sepak bola Indonesia.
“Apa yang mau diharapkan dari pemerintah yang menjadikan PSSI juga sebagai kendaraan politik? Liga saja tidak benar. Tanpa liga yang benar, percuma juga kita ikut event FIFA. Ya, paling mentok jadi finalis AFF Cup,” katanya lagi.
Ia mengatakan, Indonesia disanksi atau tidak oleh FIFA, akan menjadikan negara ini fokus membenahi liga terlebih dahulu.
“Jadi tidak perlu kita berlaga teraniaya dengan keputusan FIFA itu, apalagi jadi ajang saling serang politik. Ya, sudahlah. Gelar saja liga secara berjenjang dengan benar, pun bikin Liga 2 saja kita tak bisa, sok-sok mau jadi tuan rumah Piala Dunia pula,” ucapnya.
Terakhir, ia menutup dengan mengutarakan sebuah pengibaratan.
“Ibarat kata Pepatah ‘jangan karena kita yang tak pandai menari, lalu lantai yang kita salahkan’. Saat kita menganggap peristiwa Kanjuruhan cuma soal ajal dan nyaris tanpa penanganan hukum yang benar dan serius, lalu jaminan keamanan apa yang bisa kita berikan kepada tim sepak bola negara lain,” tutupnya.