PARBOABOA, Jakarta - Keputusan PSSI mengakhiri kerja sama dengan Patrick Kluivert pada Kamis (16/10/2025) menjadi topik hangat di kalangan pendukung Timnas Indonesia.
Dari rasa lega hingga kekecewaan mendalam, berbagai reaksi muncul, mencerminkan betapa kuatnya harapan publik terhadap masa depan sepak bola nasional.
Langkah PSSI untuk menghentikan kerja sama dengan pelatih kepala Timnas Indonesia, Patrick Kluivert, memunculkan reaksi beragam dari publik sepak bola Tanah Air.
Bagi sebagian suporter, keputusan ini dianggap sebagai awal baru setelah rentetan hasil mengecewakan di kualifikasi Piala Dunia 2026.
Namun, bagi sebagian lainnya, kabar ini justru memunculkan kembali rasa frustrasi terhadap kebijakan federasi yang dinilai kurang konsisten.
Salah satu suporter, Arfan (24), mengaku lega mendengar kabar tersebut. Ia menilai masa kepelatihan Kluivert justru menjadi langkah mundur setelah periode positif di bawah Shin Tae-Yong (STY).
“Timnas seolah kehilangan identitasnya. Dengan keluarnya Kluivert, saya berharap tren negatif bisa berhenti,” ungkap Arfan, Kamis (16/10/2025).
Meski demikian, Arfan menegaskan bahwa perasaan lega itu tidak sepenuhnya menghapus kekecewaan dan amarah para pendukung terhadap kegagalan lolos ke Piala Dunia.
Kritik terhadap Rekam Jejak
Rasa pesimistis terhadap Kluivert, menurut Arfan, sebenarnya sudah muncul sejak awal PSSI menunjuk mantan penyerang FC Barcelona itu.
Ia menilai pengalaman kepelatihan Kluivert tidak sebanding dengan STY, yang berhasil membawa Indonesia menembus ronde ketiga kualifikasi Piala Dunia—sebuah pencapaian bersejarah bagi sepak bola nasional.
“Nama besar Kluivert sebagai legenda dunia tidak menjamin kesuksesan di kursi pelatih. Kalau pun STY masih di sini, saya tidak yakin Indonesia langsung lolos ke Piala Dunia, tapi setidaknya dia punya visi yang jelas,” ujar Arfan.
Pandangan ini menyoroti harapan suporter agar pelatih Timnas tidak hanya memiliki nama besar, tetapi juga strategi dan pemahaman mendalam terhadap karakter pemain Indonesia.
Pendapat senada datang dari Bilhaq (23), suporter muda yang menilai kabar pemutusan kerja sama dengan Kluivert sebagai “angin segar”.
Ia menilai permainan Timnas di bawah STY terasa lebih hidup dan mencerminkan karakter khas Indonesia.
“Selama Kluivert melatih, permainan Timnas terasa kaku, tidak seperti saat STY yang lebih mengedepankan semangat tim,” ucap Bilhaq.
Ia juga menyoroti kebijakan ketergantungan terhadap pemain naturalisasi yang kian mencolok. Menurutnya, pembinaan pemain lokal seharusnya tetap menjadi fokus utama agar Timnas punya fondasi jangka panjang.
“Kita memang butuh pemain naturalisasi, tapi seharusnya mereka jadi pelengkap, bukan tumpuan utama. Ini menunjukkan bahwa liga kita masih harus banyak berbenah,” tambahnya.
Sementara itu, Jadid (22), suporter lain yang ditemui di Jakarta, menilai persoalan utama bukan terletak pada sosok Kluivert, melainkan pada keputusan PSSI yang dianggap terlalu tergesa-gesa dalam memecat Shin Tae-Yong.
Ia menilai pergantian pelatih yang mendadak ini berpotensi menghambat proses pembentukan tim yang sudah berjalan baik.
“Sebenarnya bukan Kluivert-nya yang jadi masalah, tapi cara PSSI mengambil keputusan. Pemecatan STY terlalu cepat, dan sekarang kita harus mulai dari nol lagi,” ujar Jadid.
Ia khawatir keputusan tersebut akan menciptakan siklus berulang di tubuh Timnas, di mana setiap pergantian pelatih membuat tim kembali kehilangan arah dan kontinuitas.
Berakhirnya masa kepemimpinan Patrick Kluivert membuka babak baru bagi Timnas Indonesia. Para pendukung kini menaruh harapan besar agar PSSI tidak mengulangi kesalahan yang sama, yakni mengambil keputusan tanpa perencanaan matang.
Kestabilan tim dan pembinaan pemain muda menjadi dua hal yang paling sering disuarakan oleh para suporter.
Meski diwarnai rasa kecewa, mayoritas pendukung sepakat bahwa momen ini bisa menjadi titik balik untuk membangun kembali Timnas dengan fondasi yang lebih kuat.
“Kami ingin melihat Timnas yang punya arah jelas, bukan hanya berganti pelatih setiap kali gagal,” pungkas Arfan.