Kriminalisasi Warga Adat Maba Sangaji dan Bayang-Bayang Tambang Nikel di Halmahera Timur

11 Warga Adat Maba Sangaji yang dijatuhi hukuman penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Soasio Tidore (Foto: Dok. Amnesty International Indonesia)

PARBOABOA, Jakarta - Sebelas warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara, dijatuhi hukuman penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Soasio Tidore pada Kamis (16/10/2025). 

Mereka dianggap bersalah karena menghalangi aktivitas pertambangan nikel milik PT Position di wilayah adat mereka, tanah yang telah menjadi sumber kehidupan dan identitas turun-temurun masyarakat Maba Sangaji.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). 

Ketua Majelis Hakim, Asma Fandun, menjatuhkan hukuman penjara lima bulan delapan hari terhadap Sahil Abu Bakar alias Sahil, dan dua bulan kepada tiga warga lainnya, yakni Indra Sani Ilham alias Mev, Alauddin Salamuddin alias Udin, dan Nahrawi Salamuddin alias Awi. Mereka juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp5.000. 

Majelis hakim memutuskan barang bukti berupa 17 kunci alat berat dikembalikan kepada PT Position. Perusahaan tersebut menyambut baik putusan itu. 

External Manager PT Position, Aan Surahman, menyebut keputusan majelis hakim sebagai bentuk penegakan hukum yang transparan, sekaligus momentum memperkuat komunikasi antara perusahaan dan masyarakat sekitar tambang.

Namun, di balik vonis yang tampak formal dan “berkeadilan” itu, muncul gelombang kritik keras dari berbagai pihak. 

Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Masyarakat Adat Maba Sangaji dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai proses hukum ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan tanah leluhur mereka.

Menurut JATAM, dakwaan terhadap 11 warga Maba Sangaji didasarkan pada pasal-pasal usang yang digunakan secara keliru. 

Mereka menilai penggunaan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam tidak relevan, sebab parang, tombak, dan pisau yang dibawa warga bukanlah senjata kriminal, melainkan alat kerja tradisional untuk bertani dan mengelola hutan.

Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara, menyebut bahwa penerapan pasal tersebut merupakan bentuk kriminalisasi tanpa dasar hukum yang sah. 

“Penggunaan pasal ini dalam menjerat warga adat bertentangan dengan asas legalitas dan hak konstitusional warga negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Kamis (16/10/2025).

Selain itu, warga juga dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan. Padahal, warga tidak pernah memeras atau meminta uang kepada perusahaan. 

Mereka hanya menyerahkan kunci alat berat secara damai di hadapan aparat kepolisian dan TNI, sebagai bentuk protes terhadap aktivitas tambang yang merusak hutan dan sumber air.

Bagi JATAM, tuduhan pemerasan dan perintangan tambang ini merupakan bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yakni gugatan strategis untuk membungkam partisipasi publik. 

Hal ini dianggap melanggar Putusan MK Nomor 35/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Dengan demikian, warga Maba Sangaji sesungguhnya sedang mempertahankan hak konstitusional mereka atas hutan adat.

Koordinator JATAM, Melky Nahar, menegaskan bahwa konstitusi menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. 

Sementara Pasal 18B ayat (2) mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Lebih jauh, Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 memberikan perlindungan terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup (Anti-SLAPP).

Secara internasional, Indonesia juga terikat pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). 

Kriminalisasi terhadap warga Maba Sangaji, dengan demikian, bukan hanya pelanggaran terhadap hukum nasional, tetapi juga pelanggaran terhadap kewajiban internasional negara.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, apa yang terjadi pada masyarakat adat Maba Sangaji adalah potret buram hubungan antara negara, hukum, dan modal. 

Alih-alih melindungi rakyat, negara justru berdiri di pihak perusahaan tambang. Protes damai warga adat untuk menjaga hutan dan air kini dianggap kejahatan, sementara perusahaan yang merusak lingkungan dibiarkan beroperasi.

Kronologi Kriminalisasi

Perlawanan masyarakat adat Maba Sangaji berawal pada 18 Mei 2025. Hari itu, 27 warga menggelar ritual adat sebagai bentuk protes terhadap aktivitas tambang PT Position yang telah mencemari sungai, merusak kebun, dan menggerogoti hutan adat mereka. 

Namun, ritual damai tersebut justru berujung penangkapan pada massal oleh aparat kepolisian.

Seluruh peserta ritual dibawa ke Direktorat Kriminal Umum Polda Maluku Utara di Ternate. Mereka dituduh melakukan tindakan premanisme dan membawa senjata tajam. 

Dalam proses interogasi, warga tidak didampingi penasihat hukum. Sidik jari mereka diambil secara paksa, satu orang dipukul, dua orang dipaksa menandatangani dokumen tanpa penjelasan, bahkan menjalani tes urin secara non-prosedural.

Keesokan harinya, 19 Mei 2025, enam belas warga dibebaskan, sementara sebelas lainnya ditetapkan sebagai tersangka. Kini, sebelas nama itu telah menyandang status terpidana.

Amnesty International Indonesia mencatat, sepanjang 2019–2024, terdapat sedikitnya 111 kasus serangan terhadap masyarakat adat di Indonesia, termasuk dalam bentuk kriminalisasi dan intimidasi fisik. 

Kasus Maba Sangaji hanyalah satu dari banyak peristiwa di mana hukum berpihak pada kepentingan ekonomi ketimbang kemanusiaan.

Bagi masyarakat adat Maba Sangaji, hutan dan tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi bagian dari jati diri dan spiritualitas. Ketika mereka berjuang mempertahankan alam, mereka sesungguhnya sedang mempertahankan kehidupan. 

Namun, pengadilan hari ini mengirim pesan berbeda di mana menjaga alam bisa membuat seseorang dipenjara.

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pembebasan tanpa syarat bagi seluruh warga Maba Sangaji, pemulihan nama baik mereka, penghentian segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat, serta peninjauan kembali Pasal 162 UU Minerba yang telah menjadi alat represi. 

Negara dan perusahaan tambang, tegas mereka, harus bertanggung jawab memulihkan kerusakan lingkungan dan menjamin keberlangsungan hidup masyarakat adat Maba Sangaji.

Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa di negeri yang kaya akan sumber daya alam, perjuangan untuk menjaga bumi sering kali dibayar mahal, bahkan dengan nyawa.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS