Pembunuhan di Tanah Papua dan Jerit Keadilan Pendeta Yeremia Zanambani 

Pendeta Yeremia Zanambani. (Foto: elsam.or.id)

PARBOABOA, Jakarta - Suatu sore di empat tahun silam, Pendeta Yeremia Zanambani (68) tewas secara mengenaskan. 

Ia menghembuskan nafas terakhir usai disiksa dan ditembak oleh oknum TNI di kandang babi miliknya, di Kampung Bomba, Distrik Hitadipta, Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Pihak berwenang awalnya menampik keterlibatan aparat keamanan. 

Polisi menuduh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai dalang penembakan, bahkan menyebutnya sebagai upaya untuk memancing perhatian dunia jelang sidang umum PBB di akhir September 2020.

Namun, hasil penyelidikan oleh Komnas HAM, Tim Pencari Fakta gabungan, dan Tim Kemanusiaan yang dibentuk oleh Gubernur Papua, justru membawa terang baru.

Investigasi mereka menemukan, Pendeta Yeremia meninggal akibat kehabisan darah setelah ditembak dari jarak dekat di lengan kirinya. Tak hanya itu, bukti kekerasan fisik lainnya juga ditemukan, termasuk jejak jeratan di lututnya.

Saksi-saksi, termasuk istri korban, memberikan keterangan bahwa seorang anggota TNI bernama Alpius, yang merupakan Wakil Komandan Koramil Persiapan Hitadipta, diduga kuat sebagai pelaku penembakan.

Kesaksian yang sama dikuatkan oleh keterangan Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya, Papua.

Sementara itu, pada 21 Oktober 2020, Menko Polhukam saat itu, Mahfud Md menyampaikan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta terkait kematian Pendeta Yeremia Zanambani. 

Dari hasil investigasi, diduga oknum aparat terlibat dalam insiden tragis tersebut. Namun, proses hukum berjalan lambat dan terkesan tertutup setelah kasus ini dipindahkan ke pengadilan militer, bukan pengadilan umum.

TNI berdalih, karena melibatkan anggota mereka, maka kasus tersebut harus ditangani lewat peradilan militer, sesuai dengan aturan UU Peradilan Militer yang dibuat pada masa Orde Baru. 

Padahal, pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dengan jelas menyebutkan bahwa jika tentara melakukan pelanggaran yang diatur dalam KUHP, maka mereka harus diadili di peradilan sipil, bukan militer.

Kasus ini akhirnya disidangkan pada 4 Juli 2022 di Pengadilan Militer III-19 Jayapura. Tiga prajurit TNI Angkatan Darat, yaitu Serka Alex Ading, Kapten Saiful Anwar, dan Pratu Moh. Andi Hasan Basri, didakwa atas pembunuhan Pendeta Yeremia. 

Pada sidang putusan 30 Juni 2023, ketiganya dinyatakan bersalah dan divonis satu tahun penjara. Selain itu, mereka juga diwajibkan membayar biaya perkara sebesar Rp20.000 untuk Saiful Anwar, Rp15.000 untuk Alex Ading, dan Rp10.000 untuk Andi Hasan Basri.

Vonis ini sangat jauh dari tuntutan awal oditur militer yang meminta hukuman 15 tahun penjara dan pemecatan ketiga terdakwa dari dinas TNI. 

Tak puas dengan putusan tersebut, oditur militer mengajukan banding. Namun, banding itu ditolak oleh Majelis Hakim Banding pada sidang 25 Mei 2023, sehingga putusan Pengadilan Militer III-19 Jayapura tetap berlaku.

Tidak Memenuhi Rasa Keadilan

Empat tahun berlalu, kematian pendeta Yeremia menyisakan catatan kelam akan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di negeri ini.

Amnesty Internasional menyampaikan, insiden ini merupakan kasus pembunuhan di luar hukum di tanah Papua, melibatkan aparat militer dengan penyelesaian yang tidak efektif dan tidak benar.

"Pengusutan kasus ini tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak tuntas," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Jakarta, Kamis (19/9/2024).

Proses hukum atas kasus ini juga, tegas dia, memperlihatkan masih kuatnya budaya impunitas di Indonesia, terutama dalam menangani pelanggaran yang melibatkan anggota militer. 

Meski hukum jelas mengatur bahwa kasus pidana umum yang melibatkan tentara harus diproses di pengadilan sipil, kenyataannya para prajurit TNI yang terlibat diadili di peradilan militer. 

"Para prajurit TNI tidak diadili melalui proses pidana di pengadilan sipil sebagaimana ketentuan yang diatur dalam UU," tegasnya.

Lebih ironis lagi, para petinggi militer yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa tersebut belum tersentuh oleh hukum. Sementara prajurit yang terbukti bersalah hanya mendapat hukuman ringan, yang jauh dari tuntutan awal. 

Situasi ini, kata Usman, tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga mengukuhkan bahwa pelanggaran hukum dan HAM oleh aparat keamanan di Papua kerap tidak mendapatkan sanksi yang setimpal.

Selama bertahun-tahun, tambahnya, kasus-kasus pembunuhan di luar hukum di Papua terus terjadi. 

Amnesty International mencatat setidaknya 132 insiden serupa terjadi sejak 2018 hingga 2024 dan menewaskan lebih dari 240 warga sipil.

Untuk menangani ini, Reformasi sistem peradilan militer menjadi hal yang mendesak untuk segera dilakukan. 

Usman berkata, bila perlu Undang-Undang Peradilan Militer perlu direvisi agar prajurit yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum dapat diadili di pengadilan sipil, seperti diamanatkan oleh Undang-Undang TNI. 

Tanpa langkah ini, keadilan bagi korban-korban kekerasan di Papua hanya akan menjadi angan-angan, sementara impunitas terus berlanjut.

Selain reformasi hukum, operasi militer di Tanah Papua yang sering kali berujung pada kekerasan harus dihentikan. Nyatanya, kehadiran aparat militer tidak membawa keamanan, melainkan memperparah konflik dan terus mengancam nyawa masyarakat asli Papua.

Ia menambahkan, kematian Pendeta Yeremia hanyalah salah satu dari banyak tragedi di Papua. Ia menjadi simbol betapa kejamnya kekerasan yang dialami oleh orang-orang yang tak bersalah di tanah mereka sendiri.

Karena itu, lanjutnya keadilan dan kemanusiaan di Papua harus segera diutamakan untuk menghentikan siklus kekerasan ini.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS