PARBOABOA, Jakarta - Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan pahlawan ekonomi yang tak terbantahkan, memberikan kontribusi signifikan melalui remitansi senilai Rp139 triliun pada 2022.
Meski begitu, tantangan dan risiko yang dihadapi PMI seperti penipuan, tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan masalah pulang tanpa identitas, masih menjadi kenyataan.
Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan bahwa pada 2023, jumlah PMI mencapai 273.848 orang.
Dari jumlah tersebut, 11.967 bekerja melalui skema government to government (G to G), 242.485 melalui private to private (P to P), dan 18.908 melalui skema perseorangan.
Sementara itu, sebanyak 4,4 juta PMI masih bekerja secara tidak resmi di luar negeri.
Kepala BP2MI, Benny Rhamdani mengungkapkan bahwa mereka rawan menjadi korban tindak kekerasan selama bekerja di luar negeri.
Ia mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir terdapat 94 ribu PMI yang dideportasi dari Timur Tengah dan Malaysia.
Kemudian, terdapat 1.935 yang meninggal dunia di mana dua peti jenazah masuk setiap harinya. Sekitar 90% dari peti jenazah atau yang di deportasi ialah korban penempatan tidak resmi.
Sementara mereka yang menjadi korban dan menderita cacat secara fisik, depresi, dan hilang ingatan tercatat sebanyak 3.377 orang.
Menyoroti hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto menegaskan bahwa diperlukan komitmen serius dari semua pihak untuk memberikan rasa aman kepada PMI.
Menurutnya, PMI yang berangkat secara ilegal berisiko menjadi korban tindak kejahatan.
Oleh karena itu, ia menyerukan kampanye sosialisasi yang lebih intensif tentang jalur legal untuk bekerja di luar negeri, terutama di daerah-daerah yang menjadi sumber PMI.
Ia meminta tokoh setempat dan organisasi seperti karang taruna atau PKK dilibatkan dalam sosialisasi ini.
"Pentingnya pembaruan terus-menerus data BP2MI untuk memantau dan mengatasi potensi PMI ilegal," ujar Edy dalam keterangan resmi yang diterima PARBOABOA, Kamis (11/1/2023).
Pentingnya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) juga menjadi sorotan Edy. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat basic skill bagi mereka yang bekerja di luar negeri, termasuk mengikuti kursus bahasa sesuai dengan negara tujuan.
Edy menyoroti peran Balai Latihan Kerja (BLK) dan menyarankan untuk memperluas fungsi BLK, contohnya BLK di Randublatung, Blora, yang mengajarkan bahasa Jepang dan menyediakan informasi lowongan pekerjaan di luar negeri.
Edy menunjukkan bahwa Jepang ialah salah satu negara yang menjanjikan bagi PMI, dengan kerjasama G to G yang sudah terjalin.
Namun, perlindungan dan peningkatan kapabilitas PMI memerlukan komitmen kuat dari Kepala Negara hingga Kepala Daerah. Bahkan, Edy mengajak calon presiden di masa depan untuk menjadikan perlindungan PMI sebagai misi utama pemerintahan.
"Komitmen tinggi dari seluruh tingkatan pemerintahan adalah kunci untuk mensejahterakan PMI dan mendapatkan penghormatan dari negara-negara lain," ungkapnya.
Editor: Wenti Ayu