PARBOABOA, Jakarta – Kasus perundungan terhadap siswa kembali terjadi, kali ini menimpa seorang siswa dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan, Sumatra Utara (Sumut).
Kejadian ini terungkap setelah kakak korban membagikannya melalui platform TikTok dengan akun @anisamwl. Dalam video yang diunggah, Ia menjelaskan bahwa adiknya menjadi korban perundungan oleh sekitar 20 orang yang ternyata merupakan alumni MAN 1 Medan.
Peristiwa berawal ketika korban diculik pada Kamis (23/11/2023) lalu sekitar pukul 10.00 WIB dan baru dibebaskan pukul 17.00 WIB. Selama proses perundungan, korban dipaksa untuk merangkak di lumpur, menghisap sandal, makan daun, dan merasakan tusukan ranting. Para pelaku juga memaksa korban untuk meminum ludah mereka.
Tidak hanya itu, korban juga menjadi korban kekerasan fisik yang melibatkan penyiksaan, tendangan, pukulan, dan bahkan dilukai dengan benda panas.
Sementara itu, Kepala Sekolah MAN 1 Medan, Reza Faisal, telah mengkonfirmasi peristiwa perundungan tersebut.
Ia menyatakan bahwa pihak sekolah telah melakukan penelusuran dengan memanggil siswa yang diduga terlibat dalam kekerasan, sambil mendampingi orang tua mereka.
Memandang Kasus Bullying dari Aspek Psikologis
Di sisi lain, Anette Isabella, seorang psikolog, menguraikan dampak psikologis perundungan tersebut terhadap korban.
“Bullying adalah pengalaman yang sangat membuat korbannya terluka, baik secara fisik ataupun psikis, dan nggak jarang jadi trauma berkepanjangan,” ujar Anette kepada PARBOABOA, Senin (27/11/2023).
Korban bullying, khususnya di lingkungan sekolah, dapat mengalami gangguan belajar dan kecemasan yang membuat mereka enggan berangkat ke sekolah.
Jika tidak ditangani dengan baik, korban bisa mengalami gangguan mental lebih serius, seperti depresi dan trauma.
Isabella menjelaskan bahwa terdapat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku atau korban perundungan.
Pelaku perundungan biasanya merupakan anak dengan latar belakang pengasuhan yang kurang ideal, mungkin karena orang tua mereka agresif atau tidak memberikan perhatian yang cukup.
Pengalaman menjadi korban perundungan juga dapat menjadi pemicu seseorang menjadi pelaku perundungan di masa mendatang.
Dari sisi korban, perundungan biasanya terjadi terhadap seseorang yang dianggap memiliki kondisi fisik lemah.
“Seperti badan yang kecil, suara yang kecil, atau ada keunikan yang dimiliki korban yang kemudian menjadi alasan pembullyan,” jelasnya.
Untuk mencegah tindakan perundungan, Isabella menyarankan beberapa langkah, termasuk mengintensifkan edukasi anti-bullying.
“Dengan bekerjasama dengan kepolisian dan psikolog setempat untuk memberitahu konsekuensi dan ganjaran dari perilaku yang dilakukan,” ungkapnya.
Selain itu, peran orang tua dan guru juga krusial dalam kasus ini. Orang tua perlu mendampingi anak-anak mereka selama fase remaja, sementara guru harus mampu menjadi wadah bertukar cerita yang aman dan nyaman dengan peserta didiknya.
“Guru perlu menyediakan tempat yang aman dan nyaman bagi korban untuk menceritakan pengalamannya, tanpa dijudge atau dihakimi,” tutupnya.
Editor: Yohana