PARBOABOA, Jakarta - Di tengah hebohnya temuan polisi terkait pelaku peledakan bom di SMAN 72 Jakarta yang diduga terpapar konten kekerasan dari internet, para ahli psikologi kembali mengingatkan ancaman nyata dari paparan konten digital negatif terhadap anak-anak.
Konten yang sarat kekerasan, ujaran kebencian, hingga gaya hidup tidak realistis dapat mengubah cara anak berpikir dan memicu gangguan mental jangka panjang.
Maraknya konsumsi konten digital yang tidak sehat kini menjadi perhatian serius, terlebih setelah munculnya kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta yang diduga dipicu oleh pengaruh konten ekstrem di dunia maya.
Psikolog klinis Phoebe Ramadina, M.Psi., Psikolog, lulusan Universitas Indonesia, menegaskan bahwa paparan konten kekerasan dan ujaran kebencian secara berlebihan dapat membahayakan perkembangan emosional anak.
Menurut Phoebe, anak-anak yang sering menonton video kekerasan atau konten berbau kebencian di internet berisiko menganggap perilaku tersebut sebagai hal yang lumrah.
“Ketika anak terus-menerus terpapar adegan kekerasan, lama-kelamaan mereka bisa menilai itu sebagai sesuatu yang wajar dan tidak berbahaya,” jelasnya dalam wawancara di Jakarta, Senin (11/11/2025).
Lebih jauh, Phoebe menyoroti bahaya lain dari media sosial, yaitu paparan terhadap gaya hidup glamor dan standar penampilan yang tidak realistis.
Menurutnya, banyak anak dan remaja kini merasa tidak berharga karena terus membandingkan diri mereka dengan figur publik atau influencer yang tampil sempurna di dunia maya.
“Melihat gaya hidup mewah atau penampilan ideal secara terus-menerus dapat memunculkan rasa rendah diri, menurunkan kepercayaan diri, bahkan memicu gangguan citra tubuh hingga depresi,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa anak-anak yang belum matang secara emosional cenderung kesulitan mengontrol perasaan saat menghadapi konten yang memancing emosi atau provokatif.
Anak Rentan Meniru Perilaku dari Dunia Maya
Kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi peringatan keras bahwa anak-anak bisa meniru perilaku yang mereka konsumsi di dunia digital.
Phoebe menilai, kurangnya pendampingan dari orangtua dan guru menjadi faktor yang memperbesar risiko ini.
“Anak-anak sangat mudah meniru. Tanpa arahan yang tepat, mereka bisa menyalin perilaku berbahaya yang mereka lihat di media sosial atau platform video,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya peran orangtua sebagai pendamping digital yang aktif berdialog dan mengarahkan anak dalam memilih konten positif.
Selain keluarga, lingkungan sekolah juga memegang tanggung jawab besar. Guru diharapkan tidak hanya fokus pada akademik, tetapi juga memperkuat pendidikan karakter dan keterampilan sosial-emosional siswa.
“Sekolah harus menjadi ruang aman di mana anak-anak belajar mengenali dampak baik dan buruk dari dunia digital,” kata Phoebe.
Ia juga mendorong agar sekolah menyediakan layanan konseling untuk membantu siswa yang mengalami tekanan akibat paparan media sosial.
Regulasi dan Literasi Digital
Phoebe menilai pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan ruang digital yang aman. Ia menekankan perlunya regulasi yang lebih kuat terhadap konten berbahaya, termasuk konten ekstrem yang dapat memicu tindakan radikal seperti kasus di SMAN 72 Jakarta.
“Negara perlu memperkuat regulasi, menjalankan kampanye literasi digital, dan mendukung riset serta layanan psikososial,” tegasnya.
Menurutnya, langkah-langkah ini penting agar ruang digital Indonesia tidak menjadi tempat tumbuhnya perilaku berisiko bagi generasi muda.
Menutup pernyataannya, Phoebe mengajak seluruh elemen masyarakat—orangtua, guru, pemerintah, hingga komunitas—untuk bersinergi menciptakan lingkungan digital yang sehat dan aman bagi anak.
“Sinergi bersama ini sangat penting agar anak-anak bisa tumbuh di dunia digital yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tapi juga sehat secara emosional dan mental,” ujarnya menegaskan.
Kasus bom SMAN 72 Jakarta menjadi cermin bahwa bahaya konten digital negatif bukan sekadar ancaman maya, tetapi bisa berdampak nyata dalam kehidupan sosial dan keamanan masyarakat.
