Kematian AKP Ulil Ryanto dan Brutalisme di Internal Kepolisian yang Tak ada Ujung

AKP Ulil Ryanto yang tewas ditembak sesama rekan polisinya. (Foto: Instagram/@singgamata)

PARBOABOA, Jakarta - Aksi brutalisme di internal kepolisian dengan menembak mati sesama rekan polisi kembali terjadi di Solok Selatan, Sumatra Barat (Sumbar).

Kali ini, insiden itu menewaskan Kasat Reskrim Polres setempat, AKP Ulil Ryanto. Ia meninggal usai ditembak oleh AKP Dadang Iskandar menggunakan senjata api pendek jenis pistol HS.

Kapolda Sumbar, Irjen Pol Suharyono dalam sebuah keterangan resmi pada Jumat, (22/11/2024) menerangkan, penembakkan diduga karena masalah tambang ilegal galian C.

Suharyono menyebut, pelaku disinyalir tak senang dengan korban yang melakukan penangkapan terhadap sejumlah penambang ilegal galian C di Solok Selatan.

"Oknum dari anggota kami berada pada posisi kontra terhadap penegakan hukum tersebut," katanya mengacu pada AKP Dadang Iskandar yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka.

Ia berujar, jajaran Sat Reskrim Polres Solok Selatan di bawah pimpinan AKP Ulil bersama timnya, telah beberapa kali mengambil langkah tegas terhadap pelaku kejahatan tambang ilegal galian C. 

Kendati demikian, upaya penegakan hukum tersebut tidak lepas dari perdebatan, dengan munculnya berbagai pendapat pro dan kontra. 

Surharyono menegaskan, tindakan yang diambil AKP Ulil sebenarnya telah sejalan dengan arahan presiden untuk memberantas aktivitas ilegal tersebut.

Dalam keterangan terpisah, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman mendorong agar kasus penembakan ini diselesaikan hingga tuntas.

Ia menekankan perlunya hukuman berat bagi pelaku sekaligus mengungkap motif di baliknya. "Pelaku mesti dihukum berat sekaligus dibongkar latar belakang perbuatannya apa," kata Habiburokhman.

Sebagai tindak lanjut, kata dia, Komisi III DPR RI berencana mengunjungi Polda Sumbar dan Polres Solok Selatan untuk memperoleh penjelasan langsung mengenai kasus ini pada Senin, (25/11/2024) pekan depan. 

Selain itu, pemanggilan terhadap Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri bersama jajaran Polda Sumatera Barat serta Polres Solok Selatan akan dilakukan pada Kamis, (28/11/2024).

Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Nasir Djamil juga mendesak agar pelaku penembakan dijatuhi hukuman berat, bahkan hukuman mati.

Menurutnya, tindakan tersebut dilakukan secara sadar dan melibatkan konflik yang sangat serius.

"Karena dia membunuh polisi dalam keadaan sadar, maka hukuman yang layak, hukuman mati. Kalau saya begitu," tegasnya.

Tak hanya itu, ia cukup yakin dengan dugaan sementara motif penembakkan, ihwal adanya persaingan keuntungan dari tambang ilegal, dimana pelaku diduga tidak senang dengan penindakan tambang galian C yang dilakukan oleh korban.

Lebih jauh, Nasir menyoroti bahwa persoalan tambang ilegal, seperti fenomena gunung es.

Insiden ini, menurutnya, membuka kembali kotak pandora yang selama ini tertutup rapat serta mengungkap jaringan dan aliran dana yang tidak hanya melibatkan aparat kepolisian, tetapi juga pihak lain. 

Lantas, ia berharap kasus penembakkan AKP Ulil menjadi momentum untuk mengungkap praktik-praktik ilegal yang telah berlangsung lama tanpa penyelesaian.

Sejauh ini, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo telah menginstruksikan Kapolda Sumbar mengusut tuntas motif di balik penembakan AKP Ulil.

Sigit menegaskan, pelaku mesti ditindak tegas karena telah mencoreng nama baik institusi kepolisian.

"Oknum, pelaku dari institusi agar ditindak tegas apakah itu proses etik maupun pidananya," Kata Jenderal Polisi bintang empat itu.

Ia berkata, tindakan tegas sangat penting, terutama jika terbukti bahwa insiden tersebut berkaitan dengan praktik perlindungan tambang ilegal. 

Selain itu, tegasnya, siapapun yang terlibat dalam perlindungan aktivitas ilegal ini, harus ditindak tanpa ragu-ragu, sebagai bagian dari komitmen institusi dalam menjaga integritas dan menegakkan hukum.

Namun demikian, anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra meminta kepada Kapolri agar pengusutan tuntas kasus ini disertai dengan evaluasi penggunaan senjata api di kalangan personel Korps Bhayangkara.

Evaluasi ini dinilai penting untuk memastikan bahwa hanya personel yang benar-benar siap secara mental dan psikologis yang diberi tanggung jawab membawa senjata api.

"Maka kami minta Pak Kapolri untuk berbenah dan evaluasi secara menyeluruh," tegasnya.

Dalam rangka itu, ia juga mengingatkan perlunya pemeriksaan kesehatan mental dan kesiapan psikologis setiap personel secara ketat, mengingat dampak serius yang bisa ditimbulkan apabila senjata api digunakan tanpa pertimbangan matang. 

Menurutnya, langkah evaluasi ini merupakan kesempatan bagi institusi kepolisian untuk melakukan pembenahan demi mencegah kejadian serupa di masa depan.

Sebagai informasi, penggunaan senjata api oleh anggota Polri diatur secara ketat dalam sejumlah regulasi, salah satunya melalui Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang prinsip dan standar hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas kepolisian. 

Aturan ini menegaskan bahwa senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia, dengan syarat tertentu seperti menghadapi ancaman serius atau keadaan luar biasa. Sebelum digunakan, personel diwajibkan memberikan tembakan peringatan, kecuali dalam situasi darurat yang membahayakan jiwa.

Selain itu, terdapat aturan tambahan yang memperketat perizinan senjata api melalui Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2022. Petugas yang ingin membawa senjata api organik harus memenuhi syarat seperti memiliki rekomendasi atasan, lulus tes psikologi, serta mendapatkan surat keterangan sehat. 

Senjata api yang digunakan juga harus diawasi secara berkala, dengan proses perizinan yang mencakup sertifikat pengguna akhir dan dokumen pendukung lainnya.

Sementara itu, tiap anggota yang diberi kewenangan memegang senjata wajib mematuhi prinsip legalitas, keperluan, dan proporsionalitas. Pelanggaran atas penggunaan senjata api dapat berujung pada sanksi administratif, pidana, atau kode etik. 

Sanksi administratif meliputi teguran, penundaan kenaikan pangkat, hingga pemecatan. Sementara itu, sanksi pidana diterapkan untuk kasus yang melibatkan penyalahgunaan atau tindak kejahatan.

Pragmatisme dan Materialisme di Jajaran Kepolisian

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan, kejadian polisi tembak polisi tidak boleh ditangani dengan pendekatan normatif semata karena terjadi berulang kali.

Salah satu penyebab insiden itu, kata dia, diduga terkait dengan kelemahan mentalitas individu yang mendorong perilaku destruktif.

Perilaku semacam ini, tambahnya, sering kali berakar pada pragmatisme dan materialisme yang merasuki institusi, dimulai dari elit yang memberi contoh buruk hingga bawahan yang mengikuti gaya hidup tersebut.

Ini, "diikuti bawahan yang mencontoh dan terpaksa mengikuti gaya hidup atasan," tegasnya.

Ia mengatakan, mentalitas materialistik ini terlihat dalam gaya hidup hedonis dan pengambilan keputusan yang semata-mata didasarkan pada kepentingan materi. 

Implikasinya dapat memicu pelanggaran aturan, seperti menjadi pelindung bagi aktivitas ilegal, mulai dari tambang, penebangan liar, perikanan ilegal, hingga judi daring. 

Pragmatisme semacam ini, kata Bambang, bukan hanya mencederai institusi, tetapi juga memperpanjang daftar konflik internal yang berujung pada kematian sesama anggota.

Dalam catatan Parboaboa, kasus polisi tembak polisi memang bukan baru pertama kali terjadi. Paling tidak, selama beberapa tahun belakangan, beberapa kasus serupa mencuat ke publik.

Salah satu besar yaitu, pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat atau Brigadir J yang menjadi sorotan selama tahun 2022 hingga 2023. 

Brigadir Joshua tewas di rumah dinas Ferdy Sambo, yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Propam Polri. Awalnya insiden ini dilaporkan sebagai baku tembak, namun fakta sebenarnya menunjukkan, Brigadir J ditembak tanpa perlawanan. 

Ferdy Sambo dinyatakan sebagai dalang pembunuhan berencana, termasuk menyusun skenario palsu dan menghilangkan barang bukti. Meski awalnya divonis hukuman mati, Mahkamah Agung akhirnya mengubah hukuman Sambo menjadi penjara seumur hidup.

Kasus kedua terjadi di Rusun Polri Cikeas, Bogor, pada Juli 2023. Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage tewas ditembak oleh dua rekannya sesama anggota Densus 88 Antiteror, Bripda IMS dan Bripka IG.

Kasus penembakan berikutnya terjadi di Lampung pada September 2022. Aipda Ahmad Karnain, anggota Polsek Way Pengubuan, tewas ditembak oleh rekannya, Aipda Rudi Suryanto. Insiden ini terjadi di kediaman korban, di mana pelaku melepaskan tembakan langsung ke arah korban hingga tewas. 

Kasus keempat terjadi di NTB pada 2021. Briptu Khairul Tamimi ditemukan tewas di rumahnya akibat ditembak oleh rekannya, Brigadir MN. Motif penembakan diduga terkait masalah pribadi, yaitu kecemburuan karena dugaan perselingkuhan antara korban dengan istri pelaku.

Kasus kelima berlangsung di Polsek Cimanggis pada 2019. Brigadir Rangga Tianto menembak rekannya, Bripka Rahmat Effendy, dengan tujuh tembakan yang menyebabkan korban tewas di tempat. 

Insiden bermula ketika Rahmat menolak membebaskan seorang remaja pelaku tawuran, yang ternyata keponakan Rangga. Penolakan itu memicu kemarahan Rangga hingga berujung pada tindakan penembakan.

Rangkaian kasus ini mencerminkan perlunya perhatian serius terhadap kedisiplinan, pengawasan, dan pengelolaan emosional anggota kepolisian, demi menjaga integritas institusi dan mencegah terulangnya kejadian serupa.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS