PARBOABOA, Jakarta - Suatu pagi yang cerah di Desa Kalimaro, Cirebon, di tengah deru kehidupan modern yang kian sibuk, dari kejauhan suara musik gamelan dan genjring mulai terdengar.
Di antara riuhnya suara itu, muncul sebuah kuda bersayap dengan wajah perempuan yang cantik berjalan perlahan di tengah kerumunan orang. Namanya Burok, sebuah kesenian yang berasal dari Cirebon.
Berbahan dasar kayu yang yang dihiasi dengan kain berwarna warni, burok mampu menarik perhatian dan memikat mata para penonton.
Di atas punggung burok, tampak seorang anak kecil bernama Rizky duduk mengenakan pakaian adat, dengan hati penuh harapan.
Ia bukan sekedar mengikuti arak-arakan, melainkan sedang menjalani sebuah perjalanan spiritual. Perjalanan menuju kehidupan yang penuh berkah, doa, dan harapan.
Setiap langkah megah Burok mengiringi doa agar anak tersebut tumbuh menjadi pribadi yang saleh, hidup dalam kedamaian, dan mengikuti teladan Rasulullah SAW.
Bukan sekedar seni, burok juga merupakan doa yang terbang, mengangkat harapan masyarakat Cirebon untuk generasi mendatang.
Kesenian yang Berakar Dalam Tradisi
Burok merupakan sebuah kesenian yang sudah ada sejak tahun 1920, atau sekitar seratus tahun yang lalu. Kuda bersayap ini pertama kali diciptakan oleh bapak Ta’al dari Desa Kalimaro, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon.
Awalnya, Burok muncul dalam acara syukuran atas hasil panen atau pesta laut yang dikenal dengan sebutan Nadranan. Saat itu, Burok bukan sekadar tontonan, melainkan sarana untuk memanjatkan doa kepada Tuhan atas segala karunia-Nya.
Melalui Burok, masyarakat Cirebon mengungkapkan rasa syukur mereka sekaligus berharap agar hasil panen semakin melimpah, dan kehidupan selalu diberkahi.
Menurut Jajat Sudrajat, seorang sejarawan Cirebon yang telah lama mendalami seni, Burok bukan sekadar hewan mitologi.
"Burok adalah hewan metafisik. Ia tidak ada dalam dunia nyata, namun dalam tradisi Islam, Burok merujuk pada kendaraan yang digunakan Rasulullah SAW dalam perjalanan isra' mi'raj," jelasnya pada Kamis 21/11/2024.
Jadi meskipun Burok tidak ada di dunia nyata, tetapi menjadi simbol spiritual yang mendalam dalam budaya masyarakat Cirebon, yaitu menghubungkan nilai-nilai keagamaan dengan ekspresi seni lokal.
Salah satu contoh saat acara Khitanan (Sunat). Iringan musik yang mengalun terdengar di antara doa-doa orang tua untuk anak-anak mereka.
"Iringan musik genjring yang mengiringi Burok memiliki nuansa syariat Islam, seperti sholawat yang terlantun," ujar Jajat.
Saat anak-anak menaiki burok dalam acara khitanan, banyak harapan dari orang tua seperti kelak tumbuh menjadi pribadi yang baik, yang selaras dengan ajaran Islam dan membawa berkah bagi orang tua serta masyarakat.
Perjalanan Burok Menghadapi Perubahan Zaman
Namun, perjalanan Burok tidak selalu mulus. Seiring berjalannya waktu, seni ini menghadapi tantangan besar, terutama dengan semakin derasnya arus modernisasi.
Dunia yang semakin sibuk, dengan teknologi dan budaya yang menggempur hampir setiap sudut kehidupan, membuat banyak generasi muda mulai melupakan kesenian tradisional ini.
Musik yang dulu hanya berisi sholawat dan gamelan kini mulai bertransformasi. Beberapa kelompok seni mulai menambahkan sentuhan musik dangdut, untuk menarik perhatian generasi muda yang lebih familiar dengan irama musik modern.
Meskipun ada perubahan dalam musik pengiring, Jajat Sudrajat berharap supaya esensi dari Burok tetap harus dijaga.
"Saya tidak masalah jika musiknya berkembang, tetapi bentuk Burok harus tetap dipertahankan. Itu adalah simbol yang tidak boleh berubah," ujar Jajat penuh harapan.
Ia percaya bahwa budaya memang harus hidup dan beradaptasi dengan zaman, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak boleh hilang.
Burok adalah warisan budaya yang harus dijaga. Meskipun tantangan besar datang dari berbagai arah, Jajat melihat semangat pelestarian yang luar biasa dari para seniman Burok yang masih bertahan hingga kini.
"Yang pasti sekarang saya acung jempol angkat topi kepada seniman burok karena sampe sekarang masih bertahan, dan kita harus menjaga tradisi ini" ujarnya.
Burok, meski dalam bentuknya yang tradisional, tetap menjadi simbol dari harapan yang terbang tinggi. Ketika sebuah keluarga menyewa Burok untuk acara khitanan anak mereka, itu bukan sekadar merayakan momen.
Itu adalah bagian dari sebuah doa panjang yang diturunkan dari generasi ke generasi. Burok adalah doa yang mengalir, mengiringi langkah anak-anak menuju kehidupan yang penuh berkah, penuh kasih, dan penuh harapan. sebuah seni yang tidak hanya menyentuh mata, tetapi juga hati.
Burok bukan sekadar pertunjukan seni yang menyentuh mata, tetapi hati. Ia adalah sebuah perjalanan spiritual yang abadi, menghubungkan kita dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari leluhur.
Di Cirebon, meskipun zaman terus berubah, Burok tetap hidup, mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan budaya, doa, dan harapan dalam setiap langkah kehidupan.
Penulis: Anisa
Peserta Program Magang Parboaboa