PARBOABOA, Jakarta - Pemimpin Tertinggi Korea Utara (Korut), Kim Jong-un, menyebut Korut tidak akan ragu memusnahkan Korea Selatan (Korsel) dengan memperkuat senjata nuklirnya.
Dalam pertemuan dengan para perwira tinggi di Pyongyang, pada Senin (1/1/2024) ia dengan jelas menyatakan niat untuk memusnahkan Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat (AS) jika kedua negara tersebut terus memprovokasi.
Menurut laporan Al Jazeera, Kim Jong-un mengungkapkan, "Jika musuh memilih konfrontasi militer dan provokasi terhadap the Democratic People's Republic of Korea (DPRK), tentara kita harus memberikan pukulan mematikan untuk memusnahkan mereka secara menyeluruh."
Kim Jong-un menyebut, meskipun Korea Utara tidak akan memicu konfrontasi secara sepihak, mereka tidak takut menghadapi perang jika diperlukan.
"Jika Korea Selatan berani menggunakan angkatan bersenjata melawan Korea Utara, kami tidak akan ragu memusnahkan mereka," ujarnya.
Konflik ini memanas di tengah meningkatnya kerja sama militer dan politik antara AS dan Korsel pada tahun 2023, yang dianggap sebagai bentuk agresi oleh Korut.
Korut menanggapi kerja sama Korsel dan AS dengan menunjukkan kemampuannya melalui uji coba senjata, termasuk peluncuran rudal balistik antar benua dan penempatan satelit mata-mata.
Kim Jong-un juga telah mengisyaratkan rencana untuk menambah satelit dan mengembangkan lebih lanjut kemampuan persenjataan negaranya.
Sementara itu, dalam pidato Tahun Baru 2024, Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, menanggapi ancaman ini dengan menyatakan rencana untuk memperkuat kemampuan militer serangan preemptive dan pertahanan rudal negaranya.
Yoon menyebut, "Republik Korea sedang membangun perdamaian sejati dan abadi melalui kekuatan."
Di awal tahun, ketegangan antara Korut dan Korsel semakin meningkat, dengan Korut bahkan menembakkan 200 artileri ke perbatasan Korsel.
Penembakan 200 artileri tersebut memicu perintah evakuasi di beberapa wilayah perbatasan.
Situasi ini menandai titik panas baru dalam hubungan kedua negara yang telah lama tegang.
Awal Mula Konflik Korut-Korsel
Pada mulanya, Perang Korea dimulai dari pendudukan Jepang di Semenanjung Korea dari tahun 1910 hingga 1945.
Sejarah mencatat bahwa akhir Perang Dunia II menandai kekalahan Jepang dan membawa perubahan besar bagi Korea.
Semenanjung Korea menjadi subjek tawar-menawar antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pasca-kekalahan Jepang.
Akibatnya, Korea terbagi menjadi dua: Korea Utara di bawah kepemimpinan sosialis Kim Il Sung yang didukung Uni Soviet, dan Korea Selatan di bawah kepemimpinan kapitalis Syngman Rhee yang didukung AS.
Pada tahun 1948, garis lintang paralel ke-38 menjadi pemisah resmi antara Korea Utara dan Selatan.
Konflik memuncak pada 25 Juni 1950, ketika tentara Korea Utara sebanyak 75.000 melintasi paralel ke-38, menandai awal invasi besar-besaran ke Korea Selatan.
Invasi ini merupakan aksi militer pertama dalam era Perang Dingin.
Lalu pada Juli 1950, Amerika Serikat memutuskan untuk terlibat langsung dalam konflik ini dengan mengirim pasukan untuk membantu Korea Selatan.
AS menyebut partisipasinya sebagai perjuangan melawan kekuatan komunisme internasional.
Pertempuran sengit terjadi di sepanjang paralel ke-38, menyebabkan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.
Setelah serangkaian pertempuran yang menguras tenaga dan sumber daya, kedua belah pihak akhirnya mencapai gencatan senjata pada Juli 1953.
Perang Korea, meskipun berlangsung singkat, tercatat sebagai salah satu perang paling berdarah dalam sejarah.
Hampir 5 juta orang meninggal, lebih dari setengahnya adalah warga sipil, dengan korban sipil lebih tinggi dari Perang Dunia II dan Perang Vietnam.
Semenanjung Korea Pasca-Perang Dunia II
Pada awal abad ke-20, semenanjung Korea adalah bagian dari Kekaisaran Jepang.
Setelah kekalahan Jepang, AS dan Soviet harus memutuskan nasib wilayah ini.
Pada Agustus 1945, mereka membagi Korea di sepanjang paralel ke-38, dengan Rusia menduduki utara dan AS menduduki selatan.
Di akhir tahun 1940-an, dua negara dengan ideologi yang sangat berbeda telah terbentuk.
Korea Selatan di bawah Syngman Rhee yang anti-komunis dan mendapat dukungan dari Amerika, dan Korea Utara di bawah Kim Il Sung yang komunis dengan dukungan Soviet.
Meskipun kedua negara tersebut telah memisahkan diri, hingga kini konflik antar keduanya masih kerap terjadi.