China Serukan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB, Prabowo Tegaskan Syarat Indonesia untuk Akui Israel

Palestina adalah negara yang "ada dan tidak ada". (Foto:Dok. bbc)

PARBOABOA, Jakarta – Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9/2025), menjadi panggung pernyataan sikap tegas dunia terhadap status kenegaraan Palestina.

Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, menyerukan agar Palestina segera diterima sebagai anggota penuh PBB, langkah yang ia sebut penting untuk mengoreksi ketidakadilan historis yang telah berlangsung hampir delapan dekade.

Wang menegaskan, Palestina selama ini mengalami ketidakadilan yang tidak bisa dibiarkan lebih lama.

Seruan tersebut sejalan dengan konsistensi posisi Beijing sejak 2023, ketika Presiden Xi Jinping secara terbuka mendukung keanggotaan penuh Palestina.

Komitmen itu diperkuat pada April 2024, saat China menggunakan hak veto untuk menolak resolusi Dewan Keamanan PBB yang diblokir Amerika Serikat.

Persimpangan Status

Sejak 2012, Palestina hanya memegang status negara pengamat non-anggota di PBB. Status ini memberi ruang untuk ikut serta dalam sidang umum, mengajukan proposal, serta duduk dalam komite, tetapi tidak memberi hak suara.

Untuk naik menjadi anggota penuh, dibutuhkan dukungan sembilan dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB tanpa adanya veto dari lima anggota tetap, serta persetujuan dua pertiga Majelis Umum.

Namun, jalan ini berulang kali terhambat. Pada April 2024, Amerika Serikat menggunakan hak vetonya dengan alasan bahwa lahirnya sebuah negara Palestina harus melalui negosiasi langsung dengan Israel.

Meski begitu, momentum diplomasi Palestina semakin menguat. Hingga saat ini, 156 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara, dengan Prancis, Monako, Luksemburg, dan Malta menjadi pengakuan terbaru.

Solusi Dua Negara

Di tengah kebuntuan, Uni Eropa melalui Presiden Dewan Eropa, Antonio Costa, kembali menegaskan dukungannya terhadap solusi dua negara.

Dalam pidatonya di markas PBB, Costa menekankan tidak ada jalan lain untuk perdamaian selain berdirinya negara Israel yang aman dan diakui, serta negara Palestina yang merdeka, demokratis, dan layak huni.

Pernyataan ini disampaikan dengan menyinggung fakta bahwa pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat terus menjadi hambatan serius.

Akui Israel Jika Palestina Merdeka

Sementara Indonesia melalui Presiden Prabowo Subianto juga menyampaikan sikap tegas di forum dunia tersebut.

Dalam pidatonya di High-level International Conference on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of Two-State Solution di markas besar PBB, Prabowo menegaskan bahwa pengakuan Indonesia terhadap Israel hanya akan diberikan jika negara itu terlebih dahulu mengakui kemerdekaan Palestina.

Menurut Prabowo, pengakuan kenegaraan Palestina adalah kunci menuju perdamaian berkelanjutan di Timur Tengah.

Ia menilai, tanpa legitimasi resmi, wacana perdamaian hanya akan menjadi retorika. Lebih jauh, ia memuji langkah negara-negara besar seperti Prancis, Kanada, Australia, Inggris, dan Portugal yang telah lebih dulu mengakui Palestina.

Seraya menekankan pentingnya tanggung jawab moral, Prabowo mengingatkan bahwa sejarah tidak menunggu bagi mereka yang masih ragu.

Meski telah diakui oleh mayoritas negara, Palestina masih menghadapi kenyataan paradoksal. Di satu sisi, ia memiliki perwakilan diplomatik di berbagai negara dan ikut serta dalam ajang internasional, termasuk Olimpiade.

Namun, karena konflik berkepanjangan dengan Israel, Palestina tidak memiliki batas wilayah yang jelas, ibu kota yang diakui, maupun tentara resmi.

Otoritas Palestina yang dibentuk pada 1990-an pun tidak sepenuhnya berkuasa atas wilayah Tepi Barat, sementara Gaza masih dilanda perang akibat pendudukan Israel. Pengakuan dunia internasional terhadap Palestina akhirnya lebih banyak bernilai simbolis ketimbang membawa perubahan nyata di lapangan. Meski begitu, simbolisme ini tetap menjadi pernyataan moral dan politik yang kuat.

Akar Konflik dan Tanggung Jawab Historis Inggris

Sejumlah pihak menilai akar konflik Israel–Palestina tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang keterlibatan Inggris. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, dalam pidatonya di PBB pada Juli lalu mengingatkan bahwa negaranya memikul beban tanggung jawab khusus sejak Deklarasi Balfour 1917.

Deklarasi itu berjanji mendukung rumah nasional bagi Yahudi di Palestina, sekaligus berjanji melindungi hak-hak mayoritas Arab yang tinggal di wilayah tersebut.

Janji ganda yang saling bertentangan ini kemudian memicu ketegangan yang berlangsung hingga hari ini.

AS Kian Terisolasi

Saat ini, dukungan internasional terhadap Palestina semakin meluas. Dengan Inggris, Prancis, Kanada, Australia, dan Malta menjanjikan pengakuan resmi.

Palestina bakal didukung oleh empat dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB—menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya pihak yang menolak.

Washington tetap bersikeras bahwa pengakuan harus lahir dari negosiasi langsung dengan Israel.

Bahkan, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio memperingatkan bahwa dorongan internasional akan memprovokasi Israel mencaplok Tepi Barat.

Secara resmi, Palestina memang masih berstatus negara pengamat non-anggota. Peningkatan status yang diberikan Majelis Umum PBB sejak 2012 memungkinkan Palestina bergabung dengan organisasi internasional, termasuk Mahkamah Kriminal Internasional pada 2015.

Namun, keanggotaan penuh tetap membutuhkan persetujuan Dewan Keamanan PBB yang selalu terhambat veto AS.

Sejumlah pengamat menilai, sekalipun Palestina diterima sebagai anggota penuh, dampaknya lebih bersifat simbolis ketimbang substantif.

Khaled Elgindy dari Middle East Institute menegaskan, keanggotaan penuh memang memberi pengaruh diplomatik, tetapi tidak otomatis menghadirkan solusi dua negara.

Profesor Gilbert Achcar dari London bahkan menyebut keanggotaan itu hanya akan melahirkan “Negara Palestina fiktif” yang masih bergantung pada Israel.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS