PARBOABOA, Jakarta - Proses pembentukan rancangan peraturan daerah (Raperda) Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan di Kota Semarang mendapatkan kecaman dari Aliansi Organisasi Peduli Perempuan.
Aliansi Organisasi Peduli Perempuan Kota Semarang yang terdiri dari sejumlah organisasi, seperti LRC-KJHAM Semarang, LBH Semarang dengan tegas menolak proses pembentukan dan substansi Raperda tersebut.
Raperda yang masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah Tahun 2023, sebagaimana dalam Keputusan DPRD Kota Semarang Nomor 172.1/16 tahun 2022 ini dianggap bermasalah.
Salah satu aspek yang menjadi fokus kritik adalah prosedur pembentukannya yang tidak bersifat partisipatif.
Pembentukan dan pembahasan Raperda ini tidak melibatkan kelompok masyarakat yang terdampak langsung, seperti perempuan korban kekerasan, disabilitas, HIV/AIDS, perempuan yang tinggal di kawasan rawan banjir dan rob, di kawasan rawan bencana alam, perempuan pekerja, perempuan yang hidup dalam konflik ekstrimisme, dan lain sebagainya.
Proses pembentukan Raperda juga tidak melibatkan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang telah lama berkontribusi dalam upaya pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) Perempuan, khususnya dalam hal pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Kota Semarang.
Mereka hanya dilibatkan sekali dalam Rapat Pansus (panitia khusus) pada 13 September 2023, yang merupakan tahap akhir dari fasilitasi yang dilakukan oleh Biro Hukum Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Tengah.
Bahkan, undangan resmi dan draf Raperda dikirimkan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga kesempatan untuk memberikan masukan terbatas.
Selama Rapat Pansus, perwakilan organisasi perempuan dijanjikan kesempatan untuk memberikan masukan setelah presentasi oleh Tenaga Ahli.
Namun, ketika mereka mencoba menyampaikan masukan mereka, pembahasan dihentikan secara mendadak oleh pimpinan rapat dengan alasan bahwa waktu telah habis.
Aliansi Peduli Perempuan menilai bahwa situasi ini menunjukkan kurangnya komitmen DPRD Kota Semarang dalam proses pembentukan Raperda, yang bertentangan dengan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Proses Pembentukan Raperda Tertutup dan Tidak Tranparan
Selain masalah partisipasi, proses pembentukan Raperda juga dinilai sangat tertutup dan tidak transparan.
Meskipun telah dilakukan upaya komunikasi dengan anggota DPRD Kota Semarang sejak awal, permohonan audiensi baru diterima pada 18 September 2023 dengan undangan yang sangat mendesak.
Permohonan audiensi mengenai Raperda Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan juga tidak direspons dengan serius.
Dokumen terakhir Raperda beserta Naskah Akademiknya juga tidak dapat diakses dengan mudah, tidak sesuai dengan asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dari segi substansinya, Raperda ini juga dianggap tidak jelas dalam tujuannya. Meskipun judul dan tujuan Raperda ini sangat luas, substansinya disebut minimalis dan sederhana.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Raperda ini juga dianggap mengabaikan keterpaduan layanan, sinergitas, dan praktik-praktik baik yang telah dibangun bersama masyarakat Kota Semarang selama bertahun-tahun.
Sejak didirikan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni pada 2005 silam, kemudian diikuti dengan inisiasi pembentukan PPT Kecamatan di 4 Kecamatan oleh LRC-KJHAM, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah kota Semarang dan diperluas di seluruh kecamatan, hingga adanya kelompok-kelompok dan layanan di tingkat kelurahan.
Namun, Raperda ini tidak mengatur tentang pelayanan terpadu dalam penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban kekerasan.
Hal ini jelas tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Terakhir, Raperda ini diduga mengandung beberapa pasal yang merupakan duplikasi dari Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal yang sama atau hanya perbedaan urutan dalam penyusunan pasal-pasalnya.
Proses rapat Pansus pada 13 September yang menghilangkan substansi pencegahan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi dari sisi tata ruang wilayah juga menjadi sorotan, sementara pencegahan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi dari semua aspek termasuk sistem tata ruang wilayah merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.